Intro: “Drama Umur Belasan”

Intro: “Drama Umur Belasan”

ilustrasi--

Di siang yang terik, diantara cahaya yang merembes dari balik terali dan tirai kamarnya, Aresa mengehala nafas berkali – kali, raut wajahnya nelangsa, badannya lemas, kondisinya rasanya jauh lebih mengenaskan dari presiden yag depresi sebab urusan negera yang 24 jam tidak pernah berhenti. Memikirkannya saja Aresa sudah muak, tapi jika ditelisik lagi hidupnya juga sama beratnya, masalahnya rasanya tidak pernah berhenti datang, kurum dari 24 jam bahkan.

“Apa gue jadi presiden aja sekalian ya? Biar frustasi dan depresinya tau banget gitu gara gara urusan negara,” Aresa menenggalamkan wajahnya diantara selimut dan sprei yang menggulung di ujung kasur. Arjuna—teman seperkantorannya yang kini merangkap menjadi sahabatnya mengehela nafas melihat drama yang dicipitakan Aresa.

“Apa kenyataan kalo lo miskin, dan harus kerja tiap hari itu nggak buat lo capek, diri sendiri aja belum tentu hidup sok mau mikirin urusan orang lain.” Arjuna just being Arjuna, masih jadi Arjuna yang sama pedasnya walau persahabatan keduanya berjalan hampir enam tahun.

Aresa melempar bantal leher yang tidak jauh darinya, “Lo itu coba deh ngotak dikit kalo ngomong, heran banget ceplas ceplosnnya luar biasa nggak pakai hati. Jantung sama liver gue cenat cenut tau nggak sih!”

Arjuna mengusap dadanya terkejut, bukan karena omelan Aresa, melainkan laptopnya—belahan jiwa raga yang ia beli hampir mengorbankan setengah nyawa—hampir jatuh sebab lempiran bantal leher Aresa. Arjuna yang memang dari tadi kesal atas drama sahabatnya itu mengambil kembali bantal leher tersebut dan melemparkannya dua kali lipat pada Aresa, yang membuat Aresaa harus jatuh dari ranjang kamarnya.

“Njir!” Umpat Aresa kesal, “Dasar bajingan nggak punya hati!” Makinya yang dibalas putaran bola matas dan decakan menyebalkan oleh Arjuna.

Mood Arjuna untuk menyelesaikan tugas kuliahnya hilang sudah, ia merapikan laptop dan bukunya. Setelahnya, menyeret Aresa dari kasur hanya dengan menarik kaki Aresa, yang membuat Aresa meronta sebab diperlakukan seperti kucing.

“Woi, Arjuna gila! Kaki gue. Lepas!” Aresa terus memberontak, yang sialnya kalah tenaga.

“Berisik!” Balas Arjuna, ia menyeret Aresa hingga ke ruang tamu dan membiarkan Aresa tergelatak di karpet ruang tamu dengan keadaan yang mengenaskan, baju kusut, rambut berantakan, dan wajah kuyu dengan kantung mata tebal.

“Tidur lo deh, udah siang ini. Kita punya kelas jam 4 nanti.” Suruh Arjuna, ia melenggang ke teras depan memakai sepatunya.

“Gue takut nanti malam nggak bisa tidur lagi,” Aresa menutup matanya dengan lengan menghalani sinar matahari yang tepat menusuk retina matanya sebab posisi berbaringnya.

“Sejak kapan juga lo tidur malam,” Balas Arjuna terkekeh.

“Bacottt…” Kesal Aresa.

Aresa dapat mendengar suara knop pintu yang dibuka dan langkah Arjuna yang semakin menjauh, “Aresa,” Panggil Arjuna, sebelum benar – benar meninggalkan Aresa.

“Cinta di umur belasan itu cuma drama…” Ucap Arjuna pelan, nada bicaranya mengejek, “Jangan jadi bodoh karena jantuh cinta yang terlalu lama. Sudahlah jatuh cintanya dalam, sendirian pula, kurang ember aja itu hidup lo, jadi kalo nangis air mata lo bisa gue tampung buat memfasilitasi air bersih yang semakin berkurang.”

Aresa tertawa paksa mendengar pernyataan Arjuna yang kurang ajar itu, ia mendengar suara pintu tertutup dan hening yang kembali menyeruak yang artinya Arjuna sudah pergi. “Sialan lo, Arjuna!” Kesal Aresa mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir di wajahnya dengan raut marah. (*)

 
Ari Hardianah Harahap--

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: