“Yang Layak Diberi Penghargaan”

“Yang Layak Diberi Penghargaan”

ilustrasi--

“Di masa depan, ayo jadi keluarga yang tawanya datang dari cerita kala petang setelah hadapi peliknya dunia”

>>>***<<<

Jara mengunjungi toko mainan, ada beberap gundam yang tampak menarik dimatanya, kali ini Jara sengaja mencari yang paling sulit, untuk seseorang yang menggilai gundam lebih dari makan dan tidur. Bagi Jara, itu obsesi yang aneh. Tapi, namanya manusia, yang rasa dan kepalanya isinya tidak pernah akan sama, jelas tidak bisa menyama ratakan apa yang membuatnya nyaman dan apa yang membuat orang lain nyaman.

Setelahnya, Jara juga beranjak menuju butik, mecari pakaian sederhan gaun rumahan untuk wanita yang sudah ajarkan Jara tentang luka dunia, luka yang kadang beri sakit tiada tara tapi juga ajarkan artinya dewasa sesungguhnya. Wanita yang tetap beri bujuk dan rayu untuknya, walau berkali – kali Jara kasari dan usir sesuka hati. Wanita yang tak pernah Jara pandang dengan layak, wanita yang tak pernah Jara beri rasa hormat, hingga Jara sadar kalo perbuatannya terlalu kelewatan dan sia – sia sebab menyuruh wanita sebaik itu pergi.

Jara memakirkan mobilnya, ia menunggu lonceng dari sekolah menangah atas itu berbunyi, dan kala berbunyi, Jara dapat meliahat ramainya murid – murid berseragam berhambur dan berdesak – desakan menuju pagar. Jara keluar dari mobilnya, kala netranya mendapati apa yang ia cari sejak dua jam lalu, ditangannya sudah ia siapkan gundam yang pilih dengan sepenuh hati.

“RIZZ!” teriak Jara yang buat sang empu pemilik mata menatapnya dengan terkejut, remaja laki – laki dengan nama Rizz itu ragu – ragu untuk menghampiri, sebab ia belajar kalo sedari dulu kehadirannya selalu ditolak oleh Jara. Melihat langkah yang ragu itu, Jara menghampir lebih dulu dengan senyum ceria. Ia berlari kemudian memeluk remaja laki – laki itu dengan tawa yang jumawa.

“Adekk, sekarang udah gede aja!”

Mata Rizz membola terkejut sebab ini pertama kalinya, ia dipanggil dengan sebutan itu ‘adik’, pertama kalinya sejak bertahun – tahun Rizz terus mencoba mencari perhatian perempuan yang menjadi kakak tirinya itu. Ini pelukan pertama yang diberikan Jara, setelah bertahun – tahun Rizz terus di dorong menjauh.  Tangan Rizz bergetar, matanya menghangat sebab tumpukan air yang siap jatuh di pelupuk matanya.

“Kakak…” Panggil Rizz, Jara mati – matian menahan tangisnya.

“Iya, adek?” Tanya Jara.

Rizz kembali memanggil Jara, “Ini kakak kan?” Tanyanya, suara bergetar, ia takut ini semua semu, sebab bertahun – tahun Rizz menunggu waktu dimana ia bisa dengan bebas memanggil kakaknya, waktu dimana hadirnya akan diberi pelukan hangat, bukan lagi dorongan menyuruh pergi.

Jara melepaskan pelukan mereka, Rizz menampakkan raut tidak rela, sedang Jara yang melihatnya terkekeh. Bahkan sudah bertahun – tahun berlalu, adiknya itu tidak pernah tumbuh dewasa, masih jadi adiknya yang sangat manja. Jara memberi gundam yang cukup berat ditangannya, memaksa Rizz untuk menerimanya.

“Nih, belajar yang rajin, itu kakak beli mahalnya pakek setengah bulan gaji kakak tahu!” Kata Jara, sembari mengacak surai Rizz.

Rizz tersenyum lebar, “Ini beneren buat adek?” Tanya Rizz, Jara mengangguk mantap. Rizz tersenyum bahagia, melompat riang, kembali memeluk Jara.

Rizz, kedepannya, ayo jadi saudara, yang menyokong kala suka duka, yang berbagi gelisah dan tawa…jadi saudara yang bertengkar kala dekat, yang merindu kala jauh, jadi suadara di keluarga yang hangat dan sederhana…Rizz, akan selalu jadi adik kakak, adik Jara.

***

Kali ini Jara bertandang di kebun bunga yang asri, ini akan jadi kenangan baik yang akan Jara ukir setelah sakit yang jara temui di kantor pengadilan agama. Kali ini, Jara akan jadi sepenuhnya putri, walau ia bukan putri idaman yang diimpikan, tapi akan selalu Jara usahakan.

“Ibu…” Panggil Jara, lama rasanya berdamai dengan sebutan itu, tapi kali ini rasanya lega. Sebab wanita itu layak diberi gelar yang harusnya sudah Jara sematkan sedari lama. Sarah—ibu tiri Jara, ibu kandung Rizz berbalik menatap Jara tidak percaya. Tangannya kotor, segera ia usapakan pada gaun yang dipakainya, sebab takut Jara akan pergi disaat mereka belum sempat mengobrol.

“Jara…” Panggil Sarah terbata, Jara memberikan bungkusan yang sedari tadi dibawanya, kemudian membawa tangan Sarah yang kotor untuk ia lap dan bersihkan.

“Nggak usah, ibu bisa sendiri!” Panik Sarah, namun Jara menahan tangan yang sudah menua itu, ia menangis dalam diam.

“Maa, jadi putri yang durhaka selama ini ya, ibu.” Bisik Jara pelan yang masih dapat didengar Sarah.

Sarah menarik Jara dalam pelukannya, tangisnya pecah, beban yang selama ini menumpuk di hatinya seketika hilang, sebab ia kini mendapati kembali putrinya, “Jara akan selalu jadi anak ibu, akan selalu jadi putri ibu…”

Jara ini luar biasa jahat, tapi selalu dapat maaf semudah ini, Jara harap dunia dan semesta akan selalu beri dua manusia yang paling Jara sakiti ini bahagia yang tiada tara… (Bersambung)

 
Ari Hardianah Harahap--

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: