>

“Di Penghujung Acara”

“Di Penghujung Acara”

ilustrasi--

“Katanya balas dendam terbaik itu jadi versi terbaik diri masing – masing, tapi Jara pikir tidak sepenuhnya juga, ada balas dendam yang terasa konyol, sesaat tapi buat lega. Setidaknya beri dendam, beri pemahana tentang jera dan karma”

>>>***<<<

Jara menyandung kaki yang sama, di hari Jara tidak saja mendengar isak tangis rekan kerjanya di balik pintu toilet, menyebabkan kopi yang digenggam oleh Zahra—tumpah mengenai pakaiannya, dan mengotori lantai. Kacamata Zahra hampir jatuh yang membuat Jara lega bahwa kacamata itu tidak benar – benar jatuh. Zahra menatap Jara dengan tatapan kosong, tatapan yang tidak bisa Jar artikan apakah itu tatapan marah, kesal, sedih atau hasrat yang banyak untuk menenggalamkan Jara pagi itu juga karena terlalu menyebalkan dan menganggunya.

Jara tidak pernah peduli pada Zahra, hari pertamanya hanya kebetulan, sebab Jara merasa bersimpati mereka punya kisah tragis yang sama, sama – sama bersenyumbunyi di tempat paling busuk hanya untuk sekeder membuat lega hati, walau sesaat. Jara juga tidak pernah menjadi oknum – oknum yang menindad perempuan itu, Jara hanya akan jadi Jara, yang tidak pernah peduli pada manusia lain selain dirinya. tapi hari ini, khusus hari ini ia tidak akan membiarkan ada Jara lain, yang setiap pulangnya selalu berhias air mata.

Jara tersenyum kecil, mengambil cup – cup kopi yang masih berisi setengah, seperti pagi biasanya, Zahra pasti akan diminta oleh karyawan – karyawan itu membeli kopi untuk mereka menggunkan uang Zahra, padahal perempuan itu sendiri bekerja karena keluarganya yang pas – pasan, jadi bagaimana Zahra mampu menahan semua itu. Jara tersenyum hangat, menolong Zahra untuk berdiri dari jatuhnya.

Jara mengambil tisu dan mengelap kameja Zahra yang yang terkena tumpahan kopi, “Gua minta maaf pasti nodanya bakal susah hilang,” Ujar Jara yang hanya dibalas dengan keterdiaman Zahra, Jara tersenyum maklum, “mana bill kopi – kopi, hari ini gua yang traktir anak kantor!” Ujar Jara. Zahra yang tadinya ragu – ragu, kini tersenyum ceria, ia segera mengeluarkan bill di saku roknya.

“Ini kak, totalnya!” Zahra berseru dengan semangat, Jara terkekeh kecil, ia bayarkan kembali uang wanita muda itu.

“gue titip ini nanti,” Jara memberikan surat dengan amplop putih, yang membuat Zahra terkejut, membelalak tidak percaya.

“Kak…” perkataanya tercekat, Zahra hanya tersenyum culas. Ia merangkul Zahra, mengajak Zahra untuk kembali ke kantor.

“setelah gua keluar, lo nggak boleh lagi ditindas, di meja gua, ada nomor gua. Kapan lo butuh algojo untuk ngebalas manusia – manusia yang ada di kantor, gua akan dengan senang hati jadi sutdara untuk pertunjukan paling seru.” Pesan Jara, “Lo harus semangat Zahra, lo harus bertahan apapun kondisi, hari ini terkahir mereka bisa seenaknya sama lo, besok, jangan lagi.”

Jara mengakhiri kalimatnya kemudian membuka pintu kantor keras, ia tersenyum yang membuat semua orang bertanya – tanya, sebab Jara yang seperti ini jauh dari Jara yang biasanya, Jara menghampiri meja yang jadi sasaran pertamanya, biang dari segala biang penindas. Jara menggengam cangkir kopi itu mantap, “Lo jadi yang pertama,” Ujar Jara apatis, menumpahkan cairan kopi itu dikepala Binari, wanita yang jadi pakar penindasan di kantor.

Jara menatap Zahra, mengedipkan satu matanya. Mulai hari ini…hidup yang bebas Zahra, hidup yang berjalan dengan selayaknya, tanpa bayang – bayang di remehkan, tanpa bayang – bayang dipandang sebelah mata, hidup jadi menusia yang sempurna. (Bersambung)


Ari Hardianah Harahap--

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: