“Juni, di Musim Penghujan”

“Juni, di Musim Penghujan”

ilustrasi--

“Harus kehujanan, biar kita bisa tau kalo kedinginan itu nggak selamanya buruk, kalo main lama – lama dibawah air itu nggak melalu buat sakit. Kadang – kadang, kita harus basah, biar tau kalo main hujan sembari lari – lari itu bakal jadi kisah yang paling lama dikenang masa”

>>>***<<<

Juni itu selalu jadi musim penghujan, bulan yang selalu di wasapadai oleh Jara. Sebab, rasa malasnya akan dua kali lipat lebih banyak dibanding hari biasanya, karena pagi yang terasa lebih dingin dan jalanan basah yang mengharuskannya memakai pakaian lebih pendek dari biasanya. Jara tidak suka menggunakan gaun selutut, yang tiap kali ada angin ia harus menahannya mati – matian agak tidak berterbangan, yang duduk saja rasanya sulit. Namun, Jara tidak punya pilihan lain selain menggunakan gaun – gaun sederhana itu, sebab ia tidak mungkin memakai celana pendek yang rasanya cukup riskan baginya.

Jara membetangkan payungnya, kontras dengan warna gaunnya yang sama – sama berwarna biru langit dengan corak putih di pinggirnya. Jara mulai melangkah pelan, hari ini…akan ia perbaiki yang seharusnya dari lama ia perbaiki, akan ia tuntaskan apa yang harusnya selesai sedari dulu. Jara tidak akan lagi berkabung atas kematian jiwanya bertahun – tahun lalu, tepat hari ini, semuanya harus selesai.

Jara tersenyum kecil, ia membelokkan langkah kakinya, pada sekolah taman kanak – kanak yang cukup sering ia kunjungi, di tangannya ada boneka beruang, boneka yang pernah jadi favoritnya, sebab diberi oleh orang yang memiliki sepenuhnya hatinya. Tapi, kini tidak lagi, Jara tidak akan membiarkan hatinya luka dan mendendam pada orang yang sia – sia, dengan begitu saja Jara menghampiri ibu dan anak perempuan yang tengah bercengkrama itu,

“Permisi,” Ucap Jara, ia tampilkan senyum tulus yang ia punya, walau rasanya sedikit canggung, Jara berusaha sebaik yang ia bisa. Kedua orang yang terpaut usia jauh itu, menatap Jara dengan raut bingung dan bertanya, menciptakan kekehan kecil pada Jara. Ia mengeluarkan barang yang ada di dalam totebag besar yang ia bawa, boneka beruang.

“ini hadiah untuk manusia paling manis, yang lahir dari cinta paling tulus.” Ujar Jara memberikan boneka beruang itu pada sosok manis yang menatap ibunya dengan tatapan takut, ragu menerima pemberiannya. Saat, sang ibu mengangguk, Jara tersenyum puas, sebab sosok mungil itu menerima dengan raut yang sangat bahagia.

“Terimakasih,” Ucap bibir mungilnya.

“Sama – sama,” balas Jara. Hingga, lambain tangan mungil itu jadi akhir dimana Jara dan ibu yang kini menatapnya was – was sebab tau bahwa Jara adalah mantan dari suaminya. Juga, perempuan yang dulunya jadi sahabatnya.

“Apa kabar…Sajera?” Jara tersenyum kecil, wanita yang dipanggil dengan Sajera itu tersenyum kikuk, Jara memeluknya erat, sebab mau berapa kalipun Jara coba lupa, rasanya masih susah, ia menyaksikan dengan jelas genggaman tangan dia altar oleh dimas—mantan pacarnya yang kini menjadi suami Sajera—bukan lah tangannya, melainkan tangan sahabatnya yang sangat Jara percayai, Jara hancur, sebab dia dikhianati oleh dua orang yang ia percayai dengan seluruh hatinya.

Mata Jara berkaca – kaca, sebab setelah ini ia tak akan lagi menemui sahabat yang sudah berbagi kisah suka dan duka bersamanya selama bertahun – tahun, Jara melepaskan pelukannya, mengusap matanya yang sedikit basah, menggenggam tangan Sajera kemudian, ia menatap Sajera seperti bertahun – tahu lalu, saat ia pertama kali menemukan teman yang bersedia jatuh bangun bersamanya.

“Sajera….” Jara menatap Sajeran penuh kasih, “Bahagia sama dia ya, maaf pernah seegois itu benci sama kamu, anak kalian lucu banget. Mirip banget sama kalian, aku…” Sajera terisak, menunduk tak mampu menyampaikan kata – katanya, “aku turut bahagia liat kalian, harmonis sampai tua ya, selalu sama – sama ya Sajera. Maafin sahabat kamu ini, maafin aku yang nggak bisa ngisi peran teman dengan baik..maafin aku ya, Sajera.”

Sajera memeluk Jara, “Maafin aku juga, Jara. Maaf rebut yang harusnya jadi milik kamu.”

Jara tidak pernah punya saudar perempuan, teman – temannya juga tidak ada, satu – satunya yang mengisi masa remaja Jara yang naas itu hanya Sajera, hanya Sajera yang rela turut jatuh berkecimpung dalam kotornya hidupnya. Sajera…Jara tidak bisa bilang, tapi percaya, kalo ada semesta lain, Jara akan berdoa dan nama kamu akan jadi proritas Jara untuk dilahirkan dari keluarga yang sama, tumbuh bersama. Berbahagia ya saudara perempuan….

Sajera…bahagai yang lama, terimakasih pernah jadi asa yang rajut cerita bersama Jara, dan terimakasih luka yang ajar Jara perihal hidup manusia…(Bersambung)

 
Ari Hardianah Harahap--

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: