“Metamorfosis di Bulan Maret”

“Metamorfosis di Bulan Maret”

ilustrasi--

“Kepergian paling tidak adil itu, kepergian yang sengaja didahulukan, padahal waktu menetap luar biasa lama untuk bersama”

>>>***<<<

Riuhnya kantor pengadilan itu jadi momen terkahir yang Jara ingat melihat Ayah dan ibunya berjabat tangan dengan damai tanpa memaki satu sama lain, tanpa suara keras yang harus ia dengar beberapa malam akhir – akhir ini. Jara mematut penampilannya di balik kaca yang kini memisahkannya dengan ruang persidangan, dari balik pantul bayangannya Jara dapat melihat sosok mungil itu tersenyum ceria, langkahnya pelan, tas yang digendongnya tampak berat, buat Jara merasa was – was langkah kecil – kecilnya itu akan jatuh.

Jara berbalik, “pelan – pelan,” Ucapnya, Jara berusaha memberi senyum setulus mungkin yang ia bisa, walau badai dalam dirinya luar biasa riuh dan menggila meronta – ronta di keluarkan. Beberapa meter darinya, Jara dapat melihat wanita yang sedikit lebih muda dari ibunya, yang dipanggil sosok mungil berpipi tembam itu dengan sebutan ‘Bunda’. 

“Kakak,” Panggil sosok mungil tersebut, Jara tersenyum culas, mengintropeksi panggilan untuknya, “Jara.” Suruh Jara.

Jara dapat merasakan perubahan raut drastis dari wanita yang menemani adik tirinya itu, senyum itu terus meluntur seiring Jara yang terus memberi penolakan pada tiap afeksi sosok mungil yang terus saja mencari perhatiannya. Jara tidak membenci adiknya itu, demi apapun Jara tidak akan pernah masalah memiliki adik semanis dan sepatuh sosok yang kini tengah menggelayut manja di kakinya. Hanya saja, Jara masih sulit menerima, bagaimanapun ini tidak sesederhana kedua orangtuanya berpisah, hidup bahagia dengan keluarga baru dan ia tinggal memilih salah satu. Tapi perihal Jara yang harus terbiasa, kalo tidak ada kebiasaan yang sama tiap harinya.

Ia harus terbiasa dengan sematan orang – orang untuknya, ‘anak tukang selingkuh’. Atau ia harus terbiasa untuk tidak lagi manja pada Ayahnya sebab sekarang ada sosok mungil yang akan lebih diprioritaskan oleh Ayahnya. Ia harus terbiasa untuk menyimpan lukanya sendirian, sebab Mamanya kini menanggung beban seluruh hidupnya. Terlalu banyak yang harus Jara relakan, terlalu banyak yang harus Jara biasakan kembali. Jara ingin menangis kencang, sebab tidak ada anak yang bahagia atas perpisahan orangtuanya. Tapi Jara bisa apa selain mengangguk sebab katanya ‘bahagianya orang dewasa itu salah satunya ini’ yang buat Jara susah paham, perpisahan itu sudah beri luka pada diri sendiri tidak luput berdampak pada orang lain yang harus ditinggalkan. Jara benci jadi korban, dari keegoisan yang namanya bahagia orang dewasa.

>>>***<<<

Jara membaringkan dirinya di atas kasur, matanya memerah sebab terlalu banyak melihat layar komputer di kantor, tangannya kebas sebab seharian tak berhenti untuk menakan tiap tuts keyboard komputernya. Jara menatap pantulan bayangan langit dari pintu balkon kamarnya yang terbuka setengah, indah tapi luar biasa sepinya. Jara tidak lagi tidur dalam kasur kapuk keras, tidak tinggal lagi di pekarangan kumuh dengan rumah lamanya. Jara hidup dengan baik, kasurnya kini busa bahkan ia bisa membeli kasur yang berbahan lembut dan empuk, kini lingkungan tempat tinggalnya apartemen di Gedung tinggi, hidup yang ia capai dengan penuh tangis.

“Harusnya Mama sedikit lebih sabar,” Mata Jara berkunang – kunang, kepalanya sedikit pusing. Hal yang wajar sebab ia baru saja meneguk wine dengan kadar alkohol diatas 40% sebelum kembali bergelung dengan kasurnya. Dalam keterdiamannya, Jara kembali mengingat waktu dimana ia harus menemukan detik – detik terkahir mamanya. Jara pikir papanya brengsek ternyata Mamanya sama saja, luar biasa kacau hidupnya.

Hari itu Jara deman, namun ia masih dapat mengingat dengan jelas setiap perkataan mamanya yang setengah mabuk. Sejak berpisah dengan Ayahnya, tiap harinya Jara tidak pernah absen menemukan mamanya mabuk dan pulang dengan berbagai laki -laki, yang tiap harinya selalu berubah. Hari itu, Mama pulang sendiri, wajahnya lebam – lebam entah apa yang terjadi, dan Jara mendapati sorot mata mamanya menatapnya penuh benci.

“Kalo hari itu,  kamu nggak jatuh, kalo hari itu kamu dengerin kata mama untuk nggak berulah di luar rumah. Mama sama kamu bakal tetap hidup enak, Jara. Papa kamu nggak akan pernah tau, kalo kamu bukan anaknya!” Mama mencengkram kuat bahu Jara, buat sang empu meringis kesakitan.

“Ma…” Ujar Jara, luka perihal perpisahan orangtunya bahkan belum mampu ia lupakan sepenuhnya, lalu datang lagi yang luar biasa mencabik – cabik jiwanya. Mamanya meraung keras setelahnya, menangis tersedu – sedu. Sedang Jara hanya duduk diam di tempatnya sedari awal, sedih, jangan ditanya. Tapi menangis, Jara juga tak bisa, seoalah ia hanya buang – buang waktu. Jadi ia putuskan untuk beranjak ke dapur, merebus satu panci besar air panas untuk mamanya, agar mandinya hangat di malam hari.

Meja makan yang tertata rapi dipandangi Jara dengan senyum kecil, luka malam ini kecil, Jara hanya perlu duduk bersama mamanya dan meniup lilin bersama, kemudian memanjatkan doa untuk kehidupan keduanya yang lebih baik, seperti tahun – tahun biasanya yang selalu mereka lewati bersama. Seharusnyaa…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: