“Deserve a Love”

“Deserve a Love”

ilustrasi--

“Jangan cinta aku apa adanya, jadi saatnya hampir musnah dan tiada rasa dalam hati ini, kita masih punya satu tujuan, untuk banyak hal, memikirkan kali ini bagaimana lagi kota harus jatuh cinta”

-Argo, patah hati itu nggak kenal waktu.

>>>***<<<

"Cantik?" 

Argo difase melerakan kini, wanita itu tampak tersenyum manis dikelilingi teman teman sejawatnya, wanita yang singgah dihatinya bahkan hingga kini, dengan balut pengantin putih yang selalu ia idam idamkan untuk melihatnya. Argo melihatnya, persis rupawan dalam bayangannya, sayangnya genggam tangan mungil itu bukan Argo yang lingkupi. 

"Argo?" 

Bukan panggilan sayang lagi, rasanya cukup canggung mendengar namanya diutarakan oleh suara yang kerap kali menamainya dengan berbagai hal manis, menyamainya dengan berbagai bentuk lucu menurut wanita itu. 

Argo tertawa pelan, nyaris sakit mendengarnya. Air matanya mati matian ia tahan, susah rasanya untuk pura baik baik saja, kala hatinya luar biasa menjerit menahan sakit. "Luar biasa cantiknya, Shiela." Argo menunduk, air matinya menitik, hari tersakitnya datang, kenyataanya wanita itu tidak lagi jadi miliknya, tak ada lagi aduan atau rengekan. Atau hal sesepela malam mereka di tepi jembatan, berbicara apa saja perihal hari hari mereka yang selalu berantakan hingga mimpi mimpi sederhana mereka tentang rumah kecil di tepi hutan. 

Shiela menatap pulangnya dua tahun terkahir ini, "aku ini...jahat sekali ya Argo?" Shiela bertanya dengan nada jenak, tawanya pelan dan juga serak. Memukul dada Argo pelan, kini keduanya dalam peluk perpisahan. 

"Jangan nangis, entar mbak kunti lebih cakepan dibanding lo. Lagian, make up mahal dikit ke, maskara lo luntur nih" penemanan sakit paling setia itu ya cuma tawa bahagia yang hadirnya mesti harus dipaksakan. 

"Yang bahagia ya Shiela, semoga dibersamai kalian selamanya, bahagianya gapapa yang sederhana, asal abadi hingga akhir hayat, selamat berbahagia, cintanya Argo" 

Dinamis ya manusia, kata cinta malam ini bisa jadi sia sia di esok hari, bahagianya malam ini bisa jadi luka luar biasa paginya, manusia seperti Argo ini hanya sebagian kecil dari banyak manusia, yang harus terbiasa dengan banyaknya manuskrip semesta yang luar biasa beri rasa berbeda tiap harinya.


Ari Hardianah Harahap--

Tuhan beri hadiah, agar Argo terbiasa tak selamanya yang ia pertahankan akan selalu ada di sisinya. Argo tidak boleh lupa, luka dia ini bukan luka sebagai manusia yang pertama. Ia hanya perlu terbiasa, waktu memang sembuhkan, walau lama, Argo hanya perlu terbiasa, iya kan? (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: