Be Patience: “Dust in The Wind”

Be Patience: “Dust in The Wind”

ilustrasi--

Argo benci hujan, sebab sering datang di waktu yang merepotkan. Dan Shiela itu hujan. Tapi semenyebalkan apapun hujan, Argo tidak bisa menampik ia butuh hujan untuk pura – pura kuat, buat tutupi air matanya yang terlanjur jatuh”

>>>***<<<

Argo akan selalu ingat bagaimana Shiela menceritakan betapa ia sangat mencintai vokalasi dari Sheila On 7, bagaimana Shiela menghabiskan malam diantara mereka dengan nyanyian – nyanyian nyaring dari Band ternama Indonesia itu. Argo tidak akan pernah lupa bagaimana mereka dua hari mencari kesana kemari demi dua tiket menonton festival yang harus mereka bayar dua kali lipat hanya untuk mendengar lagu ‘Seberapa Pantas’ dinyanyikan langsung. Argo akan rindu eufhoria kala dia dan Shiela berteriak menyerukan tiap lirik lagu, menghabiskan malam hingga larut, kemudian pulang dengan suara serak hampir habis.

“Go, jagung bakar pak Oki ya!”

Argo sebenarnya lelah, rasanya ingin cepat pulang dan berbenah kemudian menghabiskan waktunya bergelung di kasur penyetnya, sekalipun bau apek rasa lelahnya ini cuma bisa hilang di waktu diamana ia memejamkan mata dan memeluk bantal serta guling ilernya. Tapi, melengkingnya suara Shiela di tengah deru kendaraan malam itu juga tidak bisa diabaikan, alih – alih pulang, Argo malah membelokkan motor scopy berisiknya itu dimana ia dan Shiela akan mendengar genjrengan gitar sumbang di temani dua jagung bakar manis pedas.

“Kalo, aku nanti punya anak laki – laki bakal aku ajakin night ride kalo malam itu nggak selalu seindah – indah yang di quotes Instagram, biar dia tetap tau waktu pulang. Kalo nanti anak aku perempuan, bakal aku kasih tau, malam itu nggak melulu soal yang jelek – jelek, cuma diwaktu malam kita bisa tau kalo jagung bakar lima ribu dimakan sambil dengerin genjrengan gitar sumbang itu nikmatnya tiada tara.”

“Cepet banget kepikiran anak, skripsi kamu itu nggak kelar – kelar sampe kiamat sibuk halu!”

Harusnya hari itu, Argo timpali juga bagaimana nantinya jika mereka punya rumah yang sederhana, punya putra putri yang saling mengasihani, dan membayangkan masa tua mereka berdua, duduk di beranda rumah dengan secangkir teh sembari mengulik masa – masa yang sudah. Tentang betapa konyolnya dulu mereka harus berdebat bunga apa yang harus ditanam di halaman rumah, tentang mereka yang berseteru perihal ekonomi yang tidak selalu stabil. Dan tentang bagaimana mereka berbenah sembari meranjak dewasa meniti dunia.

“Sekali aja…apa nggak pernah kepikiran seandainya—” Argo segera menyuItmpal mulut Shiela dengan jagung bakar sisa, miliknya. 

“Ngapain mikirin masa depan yang belum tentu terjadi, kita mah sekarang bisa sayang – sayangnya, nggak tau besok, nggak tau nanti, bisa aja cinta kini cuma pemanis masa muda.” Kelewat sakit, kelewat nyelekit, tapi Argo tidak benar – benar bermaksud, kala itu dipikirannya ya bagaimana semestinya mereka menjalani yang tak pasti juga dengan hati – hati.

“Cuma pemanis masa muda, ya.” Shiela berseru lirih, sisa jagung ditangannya kini tidak terlihat menggiurkan, seleranya hilang sebab dengar Argo yang kelewat mudah bilang, kalo hubungan yang mereka jalani ini sekedar pemanis masa muda, apa iya waktu selama ini harus berakhir sia – sia sebab ya katanya tadi ‘Cuma pemanis masa muda’. Shiela berdiri, turut mengajak Argo, menggenggam lengan lelaki yang menjadi kekasihnya dua tahun belakangan ini, berjalan menyusuri jembatan pelan – pelan.

Terkahir kali keduanya melakukan hal ini saat ulang tahun Shiela yang sudah lewat beberapa bulan lalu, ulang tahun yang Shiela kenang sebab hari itu Argo tidak ingat sama sekali, tapi hari itu, pemuda itu beri dia sebuah titel bahwa ia layak untuk jadi tempat pulang. “Kalo jalan gini, jadi ingat Argo yang nangis – nangis, siapa yang bilang lakik itu pantang nangis.” Ledek Shiela yang dibalas dengusan Argo.

“Hari itu mah lagi capek aja, kamu itu pakek segala bilang kalo sedih ya nangis jangan ditahan. Ya, udah. Berlalu begitu saja Shiela Andara.” 

Shiela terkekeh, dan Argo ingat betul eratnya genggaman wanita itu ditangannya. Hari itu Shiela bahkan tidak sedikipun menampilkan raut kecewa, padahal ulang tahunnya dilupakan oleh orang yang sangat ia harapkan memberi ucapan. Hari itu Shiela cuma bilang, “kalo sedih itu nangis, Go. Jangan sok kuat.” Dan Argo yang kemudian berderai air mata dalam peluk kekasihnya itu, Shiela hanya diam, membiarkan luka – luka Argo lepas, membiarkan tangis Argo lebih dari cukup untuk tahun – tahun berikutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: