Tidak Ada Istilah Nenek Moyangku Petani Sawit, Karena Petani Sawit Baru Muncul pada Tahun ini…

Tidak Ada Istilah Nenek Moyangku Petani Sawit, Karena Petani Sawit Baru Muncul pada Tahun ini…

Petani sawit telah memberi kontribusi besar terhadap komoditas sawit Indonesia. Foto : dok asianagri.com--

JAKARTA, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Nenek moyangku seorang pelaut, itu benar adanya. Namun jika ada yang bilang nenek moyangku petani sawit, ini perlu diteliti lebih lanjut. 

 

Kata nenek moyang sering disematkan kepada orang yang terkait dengan leluhur.

 

Inilah alasan mengapa kalimat nenek moyangku seorang petani sawit belum tepat digunakan. 

 

Menelusuri sejarah sawit di Indonesia,  ternyata istilah petani sawit baru muncul sekitar tahun 1980an. 

 

Pada tahun inilah petani baru dilibatkan pemerintah untuk ikut menanam sawit sebagai tanaman di kebunnya. 

 

Mengutip dari situs Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), sejarah sawit di Indonesia dimulai dari empat biji sawit asal Afrika. 

 

Biji sawit itu sekitar tahun 1848 dibawa Belanda ke Indonesia lalu ditanam di Kebun Raya Bogor. 

 

Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam bukunya berjudul Kamus Sejarah Indonesia, menulis bahwa kelapa sawit merupakan tanaman asli dari Afrika. 

 

Melihat empat biji sawit itu tumbuh subur di Bogor, kemudian Belanda mencoba menanamnya kembali di beberapa daerah lain, lagi-lagi, hidup dan subur. 

 

Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, memiliki curah hujan yang berlimpah membuat sawit tumbuh dengan sangat baik.

 

Sekitar tahun 1859 Belanda kemudian membuka perkebunan sawit di Jawa. 

 

Pada tahun 1911 Belanda semakin serius mengurus sawit lalu membangun perkebunan komersial kelapa sawit di Sumatera bagian timur dan juga membudidayakan lebih banyak lagi tanaman sawit. 

 

Sebelum tahun 1980  pola pengembangan perkebunan sawit lebih banyak melibatkan korporasi swasta dan BUMN, saat itu petani belum terlibat dalam pengembangan kebun kelapa sawit, belum ada istilah petani sawit. 

 

Kemudian pemerintah membuat kebijakan memberi kemudahan berupa fasilitas kredit untuk Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yakni PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981- 1986), dan PBSN III (1986-1990).

 

Dengan dukungan sistem perkreditan murah ini kemudian perkebunan besar swasta dan BUMN berhasil merehabilitasi kebun yang sudah ada, sekaligus juga membuka perkebunan baru.

 

Hingga tahun 1980, saat Indonesia dipimpin oleh presiden kedua Soeharto, jumlah perkebunan sawit Indonesia telah mencapai 200.000 hektar, itupun sebagian besar merupakan peninggalan Belanda. 

 

Setelah inilah keterlibatan masyarakat dalam perkebunan sawit mulai dipertimbangkan. Melalui kebijakan PIR Khusus dan PIR Lokal. 

 

Melihat keterbatasan produksi sawit dalam negeri, kemudian pemerintah memberi ruang kepada masyarakat tani untuk masuk ke dunia sawit.

 

Pemerintah Indonesia membuat kebijakan, dimana ada keterkaitan petani dengan perusahaan, itulah kemudian yang kita kenal dengan istilah inti plasma. 

 

ini pula awal mula lahirnya Kebijakan PIR dimana BUMN sebagai inti dan petani sebagai plasma. 

 

Tahun 1986 pemerintah membuat kebijakan PIR Transmigrasi (PIR-Trans). 

 

Kebijakan PIR-Trans ini merupakan penyempurnaan dari PIR sebelumnya yang dikaitkan dengan program transmigrasi, lagi-lagi melibatkan masyarakat yaitu petani transmigrasi. 

 

Tahun 1996, dilakukan pengembangan Koperasi Plasma bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit. Perusahaan sebagai inti dan para petani yang bergabung dengan koperasi sebagai plasma. 

 

Tahun 2006 pemerintah membuat kebijakan lagi yaitu Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (Revit-Bun). Dimana pemerintah memberikan fasilitas kredit yang dikaitkan revitalisasi perkebunan.

 

Hingga kini, komoditas perkebunan sudah menjadi andalan bagi pendapatan nasional dan salah satu penyumbang terbesar devisa negara Indonesia.

 

Pada tahun 2019 secara total nilai ekspor perkebunan mencapai US$ 25,38 milyar atau setara dengan Rp. 359,14 triliun (asumsi 1 US$= Rp 14.148). 

 

Kontribusi nasional pada sub sektor perkebunan terhadap perekonomian nasional semakin memperkokoh pembangunan perkebunan secara menyeluruh. 

 

Mengutip data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021 yang dikeluarkan Dirjen Perkebunan, pada tahun 2021 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 15.081.021 hektar dengan jumlah produksi mencapai 49.710.345 ton. 

 

Angka ini gabungan dari perusahaan besar swasta (PSB), perusahaan besar negara (PBN) dan perkebunan Rakyat (PR). 

 

Kini, kelapa sawit telah menggurita di Indonesia, dari perusahaan swasta, BUMN hingga petani, semuanya telah menjadikan sawit sebagai penopang perekonomian bangsa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: