Bagian 4: “Kata Mahal”

Bagian 4: “Kata Mahal”

ilustrasi--

“Bukan dilihat dari seberapa seringnya, melainkan seberapa tulusnya.”

-Juandra

>>>***<<<

Arsena menunggui Juandra sembari memperhatikan Juandra yang tengah mengusap kaosnya dengan air keran mengalir. Penampilan Juandra yang tadinya sangat rapi, kini terlihat berantakan dengan kaos yang setengah basah, belum lagi bercak minyak sambal itu terlihat merah mentereng di kaos putihnya. “Sorry…” Arsena bercicit pelan, merasa bersalah sebab langkahnya yang tak hati – hati, andai ia lebih fokus pada langkah dan jalannya, kejadian ini bisa ia hindari. Pepatah ‘Menyesal tiada guna’ kini terngiang di benak. Harusnya ia tak fokus pada ponselnya saat membawa semangkuk bakso panas.

Juandra tampak merengut sesaat melihat noda di pakainnya. Belum lagi, ia bukan tipe orang yang bisa menoleransi bentuk kecerebohan karena kebodohan diri sendiri dan belum lagi hal ini termasuk dalam merugikan orang lain. Hari yang sial bagi Juandra, padahal ia harus bertemu dengan professornya. Namun gadis di depannya ini—Arsena—ahh padahal tadi terlihat sangat menyebalkan. Namun raut bersalah itu cukup melunakkan hati Juandra.

“Mau minta maaf sampai kiamat juga udah kejadian, jadi lo nggak usah nungguin gue kayak orang gila!” Ketus Juandra, ia mengambil jaket yang ada di lengan Arsena. “Jaket lo gue pinjam dulu, ini bentuk tanggung jawab!” Belum sempat Arsena berbicara, jaket itu sempurna terlilit di pinggang Juandra.

“Maaf lo itu nggak berguna, kalo lo nggak bisa mengubah apapun.” Bisik Juandra sebelum pergi meninggalkan Arsena.

Sombong.

Arsena bahkan tak pernah menemukan orang sesombong itu dalam hidupnya. Apa Juandra tidak pernah membuat kesalahan, hingga maafnya disepelekan. Arsena yang tadinya merasa sangat bersalah, kini mendengus kesal, raut wajah tak percaya hadir dengan kentara bercampur muak dan amarah. Pemuda itu…Bagaimanapun Arsena sudah meminta maaf, itu tidak semata – mata pula ia lakukan dengan sengaja, rasa bersalah yang sempat singgah di hatinya sirna dengan cepat. Bahkan kerutan kesal di dahinya kini hadir. Arsena melangkah lebar, ia mempersiapkan tinjunya dengan sempurna, bahkan kuda – kudanya ia siapkan dengan kuat.

“Juandra!” Panggil Arsena pelan.

BUGH

“Thanks,” Ujar Arsena sangat dekat, “Karena kata maaf gue nggak berguna.”

***

Jundra meringis tiap kali ia berusaha berbicara, “Jadi berapa mbak?” Tanya Juandra, matanya memejam sebab menahan rasa sakit dan ngilu di sudut bibirnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: