>

Bagian 15: “Kalau Aja Kita…”

Bagian 15: “Kalau Aja Kita…”

ilustrasi--

 

“Berandai – andai itu boleh, tapi jangan terus hidup dalam kubangan penyesalan, jangan jadi manusia yang sia – sia untuk masa lalu yang nggak akan pernah bisa berubah”

>>>***<<<

Ada dimana saat Magenta tidak sanggup menghadapi realitas, sebab sakitnya yang luar biasa. Ia pilih untuk berpura – pura. Pura – pura kalo ia baik – baik saja, padahal ada lubang yang menganga besar dalam hatinya. Pura – pura kalo ia tidak masalah dengan apa yang terjadi, padahal ia tengah hancur sebab kehilangan separuh jiwanya. Jejenya tidak ada lagi, tidak akan pernah kembali, raganya sudah terkubur di dalam tanah sana, dan Magenta tidak akan pernah lupa jika perpisahan itu rupanya benar – benar ucapan selamat tinggal yang abadi.

Kalau saja bisa, Magenta ingin mengulang waktu itu walau hanya sesaat, ia tidak akan melontarkan selamat tinggal yang menyedihkan seperti itu. Akan ia buat kenangan indah, dimana Jeje akan sungkan meninggalkan dirinya. Kalau saja iya seperti itu, apa Jeje masih disampingnya? Apa laki – laki itu akan masih menjahilihnya? Apa laki – laki itu masih frutasi dengan perasaan Magenta yang begitu denial.

“Harusnya gue akui sedari awal ya, Je. Ternyata, benar ya kata orang – orang, pada akhirnya kita Cuma bisa sadar waktu benar – benar ditinggalkan.” Magenta menatap tumpukan tanah itu, matanya sendu dengan senyum kecil, jangan tanya seberapa banyak Magenta menangis setiap berkunjung, namun kali ini ia ingin datang dengan bahagia, setidaknya ada satu hari dimana Jeje melihat ia hidup bahagia di dunia.

Kalau saja Magenta dan Cipta tidak pergi ke Vienna, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Kalo saja Magenta mengungkapkan perasaanya lebih awal, penyesalan itu tidak akan terasa terlalu menyakitkan. Kalau saja Jeje masih hidup…air mata Magenta meluruh, akhirnya ia hanya kembali berkubang dalam kata ‘kalau’ berandai – andai pada apa yang terjadi, berharap nama di nisan dan raga yang terkubur itu bukanlah Ade Juandra, bukan Jeje-nya.


Ari Hardianah Harahap--

Harusnya Magenta bisa menerima walau hanya sesaat, kalo Jeje benar tiada dan meninggalkannya. Janji mereka terlaksana, perihal hidup masing – masing dengan baik, melupakan satu sama lain seiring waktu, raga Magenta iya melakukannya, tapi tidak dengan jiwa dan hatinya yang ikut terkubur bersama Jeje. Magenta itu jika ditanya soal luka hati, tak terbayang sakitnya, sebab ia terbiasa diberi oleh Jeje, menjadikan Jeje satu – satunya tumpuan, dan disaat ia kehilangan dimana ia tidak sempat mempersiapkan kehidupannya. Magenta hilang arah, tak tahu harus kemana. Bersamanya sakit, tapi tanpanya jauh lebih sakit. 

The End

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: