Bagian 14: “We Fail to be Happy Ending”
ilustrasi--
“Kali ini kita gagal buat capai bahagai bersama, hidup yang bahagia, Je, di lagu yang paling abadi”
>>>***<<<
Megenta mengatur nafasnya, sungguh dirinya dilanda panik saat mendengar kabar Jeje. Saat tiba di rumah sakit, Magenta segera berlari dari arah parkiran menuju ruangan Jeje yang dikirimkan bunda Cipta kepadanya. Berkali – kali Magenta jatuh dari langkah tergesanya, bahkan Magenta tidak menyadari bahwa lututnya terluka dan mulai berdarah.
Kosong
Kamar yang ia jumpai kosong, tidak ada Jeje yang dapat ia temui, apa bunda Cipta berbohong? Jika iya, maka Magenta akan mensyukurinya, ya, Magenta berharap itu benar kabar bohong. Magenta mengatur nafasnya pelan, menetralkan segala isi pikiran dan hatinya agar lebih tenang, namun kedatangan Bunda Cipta yang menemuinya dengan mata sembab dan Bunda Jeje yang terlihat kosong membuat Magenta was – was pada apa yang tengah terjadi.
Magenta tak berbicara, menunggu Bunda Cipta untuk lebih dulu mengatakan apa yang ingin didengarnya, Magenta menahan nafasnya tegang. “Magenta, Jeje…” Ujar Bunda Cipta terputus, air matanya turun, “Jeje…” Bunda Cipta tak kuasa menahan tangisnya lalu menunjuk sebuah brankar yang tengah didorong ke dalam ruang mayat.
Magenta tak lagi menggubris bunda, perlahan langkah Magenta berjalan keruangan di mana Brankar itu ditempatkan, Ruang Mayat. Magenta tersenyum pelan, “Tenang Ta, setelah ini lo bisa marahin Jeje karena ngeprank lo berlebihan,” Hibur Magenta pada dirinya sendiri.
Magenta memasuki ruang mayat tersebut, disana masih terdapat beberapa perawat yang tampak baru selesai mengurus brankar yang ditunjuk Bunda Cipta tadi. Magenta mendekati brankar itu, dan entah kenapa Magenta seolah sengaja di beri ruang oleh para perawat yang melihat kedatangannya, mereka benar pergi, menjauh seolah Magenta akan benar – benar melihat sebuah kematian.
“Ini bukan Jeje, tenang Magenta,” bisik Magenta pada dirinya sendiri pelan, Megenta menarik pelan selimut yang menutupi wajah mayat yang diakui sebagai mayat Jeje. Perlahan, Magenta dapat melihat wajah yang sedikit demi sedikit tampak jelas. Tidak mungkin, Magenta tidak ingin percaya bahwa itu Jeje.
“Jeje,”
“Je, lo ngapain disini?” tanya Magenta linglung, matanya memburam karena genangan air mata yang timbul.
“Je, lo ngapain sih gini? Nggak lucu banget, bangun lo!” suruh Magenta keras mengguncang tubuh Jeje kuat. Wajah itu benar – benar serupa dengan Jeje, sahabatnya. Namun, Magenta tidak ingin mempercayainya begitu saja. Magenta tidak mungkin kehilangan Jeje seperti ini.
“Ini bukan Jeje kan?” Tanya Magenta panik pada para perawat yang masih menungguinya. “INI BUKAN JEJE KAN?” Teriak Magenta lagi, tubuhnya bergetar, air matanya berdesakan, “JAWAB!” suruh Magenta pada perawat tersebut, namun tak satupun dari mereka bersuara, Magenta tidak mendapat jawaban apapun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: