Bagian 7: “Pieces of Our Conversation”

Bagian 7: “Pieces of Our Conversation”

--

“Percakapan paling rahasia itu ada dianta teluk ragu ingin berkata, lelah menyimpan sendiri”

>>>***<<

Jeje dan Saka saling bertatapan aneh, sebab tidak terbiasa bagi mereka berdua hanya nongkrong berdua tanpa kehadiran Cipta. Ternyata setelah dipikir – pikir, kedunya dekat juga sebab Cipta. “Kita nggak sedekat itu apa cok, sampe gini aja nggak tau mau ngomongin apa?!” Saka membuka pembicaraan pertama kali, Americano keduanya tergelatak begitu jasa, padahal biasanya kopi pait di warung Bi Jam akan habis sekali tandas. Jeje tergelak, rasanya sedikit asing tapi menyenangkan juga, toh, pada dasarnya Saka asyik, hanya saja tidak semua orang bisa dekat padanya.

“Yaudah mabar aja, hayok – hayok!” Jeje bersiap mengeluarkan ponselnya, tentu Game menjadi satu – satunya solusi yang membuat siapapun akrab, sebab cukup jarang mendapati anak laki – laki seusia mereka tidak bermain Game. Awalnya, Saka ingin menuruti Jeje, tetapi kendala hal lain di kepalanya, membuat acara nongkrong kali ini sedikit berat.

“Gue sama Windi…lo tahu kan?” Tanya Saka, ia mengeluarkan ponselnya, bertanya dengan raut biasanya, walau jantungnya berdetak tak karuan. Ia gugup setengah mati, sebab yang ia tanyai ini layaknya Cipta ke-2, andai saja saat pertama kali bertemu Cipta mengenalkan Jeje sebagai kembarannya, mungkin Saka akan percaya, sifat, tingkah laku, pemikiran hingga gerak gerik keduanya sama persis, sedikit perbedaan yang ada pada keduanya. Jeje dengan mulut blak – blakannya, sedang Cipta dengan sifatnya yang keterlaluan baik dan ramahnya, bahkan Saka pikir pembawaan Cipta itu kadang menyerempet bodoh sebab seringkali terasa dimanfaatkan oleh orang – orang sekitarnya.

“Lo sama Windi?” Tanya Jeje, “Ya taulah, punya mata gue” Lanjutnya, Jeje berbicara dengan nada biasa.

Saka tersenyum culas, “Kemarin—”

“Kemarin yang lo sama Windi di taman batu kan? Itu lo cuma nggak sengaja ketemu dan kebetulan rumah kalian searah, make a sense aja kalo lo nawarin si Windi pulang. Sans ae-lah, Ka.” Potong Jeje sebelum Saka menyelesaikan pembicaraanya.

Bahu Saka merosot lemas, remang – remang di hatinya tadi kini menjadi sendu sepenuhnya. Jeje tahu perihal ia dan Windi yang menghabiskan waktu berdua, tentang hubungan kedunya di belakang Cipta, tentang pengkhianatan ia dan Windi pada teman sebaik Cipta. Saka mengulum bibirnya, tersenyum culas, notifikasi ajakan bergabung dalam permainan dari Jeje mengalihkan perhatiannya sesaat, Saka menekan tombol mulai permainan itu.

“Jangan pura – pura, Je.” Saka berbicara tanpa menatap Jeje. Kedunya tampak fokus dalam permainan, padahal hati dan pikiran kedunya tengah melanglang buana.

“Ya, gapapa. Anggap aja gue nggak tau. Ini mah sepele doang nying!” Jeje masih seperti biasanya, tidak ada yang tahu kapan pemuda itu merasa marah, kapan pemuda itu merasa sedih. Raut yang selalu ia tampilan terus saja tersenyum, ceria, seolah satu – satunya beban dalam hidupnya itu hanya tentang rumus Matematika yang kerap kali ia dijadikan sasaran Bu reni untuk maju ke depan papan tulis.

“Sepele?” Alis Saka mengkerut bingung, fokusnya pecah, tidak lagi pada game ditangannya. Ia sepenuhnya menatap Jeje.

Jeje terkekeh, suara perang, tebasan pedang dan tembakan terdengar keras diantara kedunya, “Kalo hati dan Windi doang mah, gue yakin si Cipta banyak yang mau. Lagipun ntuh anak pasti tau, kalo yang nama dikhianati, luka, kecewa mah sekilas lewat aja sama manusia – manusia kayak kita. Ya kali hidup lo flat aja, Ka. Boring amat Cok!” Jeje berkata sembari menekan ponselnya kuat, mengarahkan tiap lawannya, ada amarah yang diam – diam tak bisa Jeje ungkapkan. Bahkan rasanya gatal ingin menonjok Saka saat ini juga.

“Cipta Cuma patah hati, selama dia masih punya hati aman – aman aja, Ka. Dia masih bakal jadi Cipta yang biasanya. Tapi kalo lo, apapun harus lo lakuin, mau cosplay jadi kucing jalanan kek, jadi orang gila kek, apapun. Selain depresi dan mati.” Bisik Jeje.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: