>

Bagian 4: “Kadang – Kadang Kita Itu manusia haus Validasi”

Bagian 4: “Kadang – Kadang Kita Itu manusia haus Validasi”

--

“Ada yang bilang hari ini biasa – biasa saja, padahal dalam hatinya ingin dipuja. Ingin dipertanyakan bagaimana ia bisa menghasilkan hal yang begitu istimewa, sebab kadang – kadang kita ini manusia, yang sesekali butuh validasi, juga butuh diakui”

>>>***<<<

Jeje berjalan mondar mandir di depang bangku kursi taman, Cipta menatap jengah eksrim ditangannya bahkan sudah hampi mencair. Ini sudah dua jam, sejak mereka berdua tiba dan hanya diam saja, menyempatkan diri sesaat untuk membeli eskrim dan mengikuti ketidakjelasan Jeje, lagi – lagi perihal ia yang menggalau sebab ditolak wanita pujaannya.

“Lo kalo mau gila sendiri – sendiri aja lah, gue mau ketemu Magenta!” kesal Cipta, Jeje mendelik sinis, Cipta ini sahabatnya bukan sih? Padahal Jeje sudah sangat lama memendam perasaan pada Magenta, lalu mengapa Cipta tidak pernah peka jika ia menyukai Magenta?

“Lo jahat banget sih!” Jeje menghentakkan kakinnya, ia mencekik Cipta pelan, yang dibalas Cipta dengan balasan wajah memelas, cekikan Jeje bahkan tidak terasa sama sekali, sebab Jeje hanya menempelkan tangannya di leher Cipta dan mendaramatisi keadaan.

“Tapi Je, beneren deh kepo njing! Siapa sih cewe yang lo suka itu? Susah amat!” Kesal Cipta, perihal perasaan Jeje yang tertolak maka perasaannya juga ikut tertolak, sudah dikatakan bukan Jeje itu belahan jiwa cipta juga, mereka itu saudara walau tak sedarah. Dan menolak Jeje juga termasuk hal yang aneh, Jeje itu pintar, apalagi dalam melukis dan bermusik, walau tak mau mengakui, Jeje tentu saja tampan, walau sedikit tidak waras, Jeje itu masih pentolan sekolahnya.

“Satu sekolah sama kita?” Tanya Cipta, Jeje menegang itu pertanyaan menjebak, walau Cipta bertanya dengan raut polos, kepekaan Cipta tidak dapat diremehkan. Secara tidak sadar, wajah Jeje memerah, perihala apapun mengenai Magenta, Jeje akan malu, kasmaran dan cinta efek sampingnya memang dahsyat luar biasa.

“Maybe?” Ujar Jeje ragu, setelahnya tertawa paksa. Cipta menatap Jeje curiga, “Gue kenal ya Je?” Tanya Cipta memicingkan matanya, Cipta mengawasi gerak gerik Jeje, terlalu mencurigakan, tidak mungkin Jeje menyembunyikan sampai selama ini jika memang Cipta tidak mengenalnya, berarti Cipta mengenalnya, dan Jeje terlalu malu untuk mengakui sebab pasti yang berhubungan dekat dengan mereka, bisa saja….sangat dekat.

“Je,” Panggil Cipta, ia tertawa senang seolah tengah mengetahui satu rahasia besar, ia menatap Jeje dengan binar penuh.

“Lo…takut ngasih tau gue,” Cipta menggantungkan kalimatnya, membuat Jeje merasa was – was dengan jantung berdebar, “Karena itu….” Jeje ingin sekali memukul kepala Cipta saat ini, ekspresi wajah sahabatnya itu terlalu menyebalkan. “Magenta bukan?” Tanya Cipta, tersenyum hangat.


Ari Hardianah Harahap--

Jeje mneginjak kaki Cipta kuat, “ARGGGHH!!! SAKIT JE!” Teriak Cipta memegangi kakinya, wajah Jeje bertambah merah, entah Cipta menyadarinya atau tidak. Cipta tersenyum kecil, pengelakan Jeje jelas jawaban yang paling jelas yang ia ketahui, pencuri tidak akan pernah mengaku telah mencuri.

“Sembarangan, gue nggak. Nggak usah nuduh lo!” Kesal Jeje meninggalkan Cipta sendirian. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: