Another Universe: (We Fail) To Be Happy Ending

Another Universe: (We Fail) To Be Happy Ending

Ari Hardianah Harahap--

“Cerita yang penuh warna itu kesannya yang paling berharga, karena kita selalu tau makna dalam setiap kisah, dari yang paling bahagia hingga yang tak ingin diulang kembali.”

>>>***<<<

“Lo pernah kepikiran nggak sih seandainya gue nggak jadi aktor disana?” Itu Jeandra, Ace dari segala Ace, tokoh utama dari segala tokoh utama. Tidak ada yang mengenalinya, sebaik – baiknya ia mengenal dirinya hanya ia dan yang menciptakannya, hidup di dunia yang sedari awal telah tertulis, menjadi satu – satunya yang menyadari perihal peran dan seluruh akhir yang jelas akan terjadi, seolah Jeandra itu boneka, hanya tinggal menunggu waktu kapan ia harus bergerak, dan kapan ia harus berhenti. Tubuhnya, bukan miliknya.

“Kalo lo bukan aktor apa dong?” Tanya Sang Empu, lawan yang diajak bicara, Jeandra terkekeh, “Apa ya?” Tanya Jeandra kembali, bingung harus menjawab apa.

“lo punya mimpi lain?” Tanya sang lawan bicara, Jeandra mengangguk ragu – ragu. “Kalo gue dikasih kesempatan untuk hidup bukan sebagai Jeandra, gue berharap gue bisa jadi sejatinya manusia, yang apa – apanya itu keputusan gue, yang dimana gue merasa ya gue, nggak seorangpun berhak atas kehidupan gue.” Jelas Jeandra terkekeh, tatapannya nelangsa, bukan main bagaimana sakitnya hatinya. Lagi – lagi hanya ia sendiri yang menyadarinya. Sesaknya tak dapat ia bagi – bagi, sekuat apapun ia ingin, tidak akan pernah bisa.

“Hah? Ngaco lo?” Respon yang diberikan tak lebih membuat Jendra merasa lebih naas, ia hanya sebuah bidak yang bisa dimainkan kapan saja, kapanpun, dimana saja. Jika dulu ia bisa berkata dengan tegas, bahwa ia bisa mengatur segalanya, maka kini ia harus menunduk malu, bahkan ia hanya sebagain kecil dunia yang tak pernah ia liat sepenuhnya. Ia hidup dalam metafora dan tulisan orang lain, dan selalu ragu terus mempertanyakan apakah tawa dan Sukanya hari ini nyata? apa dukanya ini juga nyata? apa yang semua ia rasakan ini nyata, karena kini adalah bagian dari semu dan fana.

“Menurut lo hidup yang nyaman itu yang gimana?” Tanya Jeandra acak, ia pikir meluasakan pikirannya adalah salah satu bentuk ingin berdamai dengan keadaanya kini, walau terasa pahit untuk menerima.

“Hidup dimana gue merasa cukup untuk hal – hal yang sederhana, yang nggak berharap banyak sama apa yang akan datang, yang bisa damai dengan kemarin dan yang bisa menerima hari ini. Hidup yang bahagianya ala – ala aja, hal – hal kecil yang bisa diingat, yang nggak harus mewah. Yang masih bisa sama – sama, yang kitanya nggak merasa sendirian dan menyesal atas kehidupan.”

“Dan lo merasa cukup? Bahkan sekarang?” Tanya Jeandra pelan.

“Cukup, Jean. Lebih dari cukup.”

“Kenapa?”

“Kita punya alasan untuk terus jalan, jangan berhenti cuma karena hal yang belum jelas kepastiannya. Hidup kita terlalu sia – sia cuma untuk pasrah, terus menyesal dan merasa bersalah.” Ujarnya.

“Jean…” panggilnya pelan, “Bahagia itu hal – hal yang buat kita lupa, sekalipun kita fana hati itu tetap ada rasa dan nyata..iya?”

Iya, Jean lupa, kalo rasa di hatinya itu nyata walau tak seutuhnya ada. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: