Bagian 1: “Falsetto”

Bagian 1: “Falsetto”

Ari Hardianah Harahap--

“Kalo dalam musik suara palsu itu falsetto, dalam kehidupan tiap inci kebohongan itu baiknya dinamakan apa? Biar tak selalu dilabeli pura – pura. Pura – pura bahagia, pura – pura suka, padahal ia tak bahagia, tak pula ia suka.

- (We fail) To be Happy Ending”

>>>***<<<

Jeje memetik gitarnya sembarang, suara genjrengan yang berantak terdengar jelas di lengannya sepi taman rumah sakit itu, lagipula siapa yang akan berkunjung ke taman di jam 3 pagi. Tapi, diantara banyaknya tempat, taman sederhana rumah sakit ini akan selalu jadi tempat favoritnya, bagaimana bau obat – obatan yang tidak akan lekang seharian penuh, riuhnya tawa juga tangis yang terjadi serentak, hiruk pikuk yang ributnya kadang melebihi jalanan, dan sunyinya melebihi pemakaman.

“LO!” Sebuah suara menyahut dengan keras, menendang Jeje hingga menjatuhkan gitra yang ada di pangkuannya, “MAU SAMPAI KAPAN LO DISINI HAH? MAU JADI PENUNGGU LO?!” Itu Arjuna, tangannya bersedekap di depan dada dengan gaya songong andalannya.

Jeje mengambil gitarnya, menggertak Arjuna seolah akan memukul sahabatnya itu, sebenarnya Jeje bisa saja. Namun, mengingat ia berada di tempat yang penuh empati juga simpati, Jeje menahan hasratnya mati – matian untuk benar – benar tidak mengirim Arjuna ke sindikat penjualan organ dalam.

“Rese bener anying! Bisa nggak sih sehari aja lo nggak ganggu?!” Kesal Jeje, Arjuna hanya mencebikkan mulutnya tidak peduli, berjongkok di depan bangku taman yang kosong di samping Jeje, mleihat coretan not – not nada dan lirik yang err…bagi Arjuna terasa menggelikan.

“Akan kujadikan kau pertama, tahta paling indah, cahaya paling terang…” Jeje menarik kertas yang dibaca Arjuna, menatap Arjuna nyalang dan segera mengunci kepala Arjuna ke dalam lengannya.

“Lo tuh yah Samsuddin, bisa nggak sih sehari aja nggak usah petakilan. Lo tau privasi nggak?! Privasi anjir!” Kesal Jeje memberi tekanan kuat pada leher Arjuna.

Arjuna menepuk – nepuk lengan Jeje yang melingkari lehernya, wajahnya memerah sebab tak bisa bernafas, “Lee..pas..ss!” Suruh Arjuna yang diabaikan Jeje, “Gua kaduin Tante lo kalo anaknya...” Jeje membekap mulut Arjuna dengan telapak tangannya. Arjuna semakin bergerak brutal sebab tak bisa bernafas.

“Lo..lo…lo beneren gi..la!” Arjuna meraup udara kuat, menekan dadanya keras. Jeje menyempatkan untuk menendang bokong Arjuna, sebelum meninggalkan Arjuna sendirian, mengambil tas dan gitarnya.

“Jeje tega parah lo!” Kesal Arjuna menghentakkan kaki.

***

Jeje menyayikan melodi sembarang dengan iringan gitar sederhana, nadanya lambat dan santai. Jeje menatap Ayahnya sendu, tak ingat kapan terakhir kali ia bermain gitar bersama ayahnya? Hingga malam dimana, Jeje menemukan ayahnya tak pulang dan terus saja betah tertidur di brankar rumah sakit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: