Bagian 19: “By Whom? (Mozanda Anggita)”

Bagian 19: “By Whom? (Mozanda Anggita)”

Ari Hardianah Harahap--

Moza itu bukannya buta rasa apalagi memaksa yang jelas bukan miliknya, hanya saja rela juga tidak semudah yang dikata, sebab ia yang merasa terluka begitu hebatnya, ia yang ditinggalkan, ia yang tak digubris, dan ia yang tak dilirik walau hanya untuk beberapa detik saja menjadikannya ruang yang luluh lantak. Ia tak merasa menjadi yang paling sempurna hanya saja ia menjaga egonya setidaknya beri ia kesempatan untuk meninggalkan agar ia merasa harga dirinya tetap utuh, bagaimanapun juga ia manusia, yang salahnya itu tentang egoisnya semata.

Abian itu jika tak beri apa yang ia harap harusnya tidak juga menjadikannya seolah layaknya sampah, Abian itu lelaki yang ia biarkan untuk singgah dihatinya yang sayangnya buka beri ruang hangat dan jaga hatinya, malah ia hancurkan hingga keping itu tak lagi terasa ada, tak utuh berlarut dengan sedih yang tak kunjung reda. Moza sadar, sesempurna apapun Abian sebagai seorang yang ia pinta menjadi teman seumur hidupnya, tetap saja manusia yang bisa beri luka hebat lewat apa saja, yang bisa buat dirinya porak poranda kapan saja.

“Za…” Panggilan itu datang lagi. Moza tak ingin dikasihani, tapi peluknya tak bisa juga ia sangkal, tentang ia yang juga butuh tempat bersandar dan bekeluh kesah, tentang ia yang juga ingin menceritakan harinya, Moza iri pada apa saja yang Mayta Purnama terima dari Abian Pratama, sebab ia juga ingin dicintai sebesar itu, dijadikan segalanya dari apa yang ada.

Moza diberi peluk hangat, dari hati yang ia selalu lukai sejak lima tahun lalu, mengapa tidak menyerah saja sih, biar Moza tata dulu hidupnya sebaik – baiknya, agar ia tak hanya diberi Moza yang luka dengan dunianya yang hancur, agar Moza bisa beri sebaik – baiknya cinta tanpa luka lalu yang tak pernah usai.

“Sesakit ini padahal, kenapa masih bertahan?” Tanya Moza pelan, kali ini ia biarkan air matanya turun pelahan, bersandar di tubuh yang ia sakiti dengan luka tak kasat mata.

“Kalo tau sakit, kenapa nggak ditinggalin sih?!” Bahkan Nada bicara itu masih bisa jenaka tanpa terdengar ada sirat kecewa, memberi Moza ruang hampa pada rungu dan indranya. Moza turut tertawa pelan, tak lagi membuka bicara, sebab kata yang ada diantara mereka memiliki dua visi berbeda, yang jika dipaparkan dua manusia ini bisa jadi lukanya tak berhenti berdarah sebab terus saja digores dengan sengaja. Sayatannya tak terasa tapi perihanya luar biasa.

Lucunya, keduanya masih bisa bertahan sebab luka yang sama, jika bisa bertahan bersama karena luka mengapa tidak bertahan bersama untuk bahagia? Moza…Moza…hatinya tolong ditata, biar yang pantas tak lagi dilewatkan, sebab semesta sudah kirim yang pas, yang genggamnya tak lebih hangat yang bisa jadi panas, tak lebih dingin yang bisa jadi membeku, yang pantasnya hanya Moza yang bisa miliki. (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: