Bagian 17: “Katanya itu Lewat Tindak”

Bagian 17: “Katanya itu Lewat Tindak”

Ari Hardianah Harahap--

Tata tidak akan tau jika Abian akan menganggap serius kalimatnya, perihal ia yang merasa kecil disamping Mozanda Anggita. Perihal ia yang juga ingin tau mengenai keluarga Abian. Hari ini, menjadi hari yang paling mendebarkan bagi Tata, pertama kalinya ia akan bertemu dengan orangtuanya Abian. Didalam mobil, Tata terus memperhatikan riasannya, effortnya bahkan sampai membeli baju baru hanya demi melengserkan Mozanda Anggita dari hidup Abian. Sungguh muak rasanya terhadap tingkah Moza yang begitu besar kepala itu.

Abian terkekeh, “Udah aku bilang pake kayak biasanya aja, kamu udah dapat nila plus sendiri kok di hadapan beliau nanti.” Ujar Abian yang membuat mata Tata mendelik tajam.

“Omongan kamu tu nggak bisa dipercaya!” Kesal Tata. Ia masih mengingat saat ia harus bertemu dengan adik Abian, Jia saat itu bahkan belum mandi di pagi hari dan berkunjung ke apartemen Abian karena ia lupa membayar listrik rumahnya. “Waktu itu kamu juga bilang, nggak ada orang diapertemen kamu, taunya ada Jia!” Ujar Tata emosi mengingatnya, “Kamu tau, Jia liat aku tu udah kayak liat hantu tau!”

Abian terkekeh, “Kamu yang nggak nanya, marahnya ke aku mulu, Ta. Dasar wanita!” Balas Abian mengacak rambut Tata membuka pintu mobilnya, Tata melotot pada Abian yang mengacak rambutnya dan memperhatikan sekitar yang ternyata ada di toko bunga. Tata membiarkan Abian turun sendirian, memilih sendiri menenangkan dirinya didalam mobil, menyiapkan banyak kata sebelum bertemu orangtuanya Abian.

“Masih lama ya?” Tanya Tata sesaat Abian menjalankan kembali mobilnya, Abian menggeleng, “Nggak kok bentar lagi.” Ujar Abian, dan benar saja lima menit kemudian mobil Abian kembali berhenti, tapi kali ini bukan disebuah rumah melainkan pemakaman.

“Abian…” Tata memanggil Abian pelan, menatap Abian penuh makna. Abian tersenyum menenangkan, mengamit lengan Tata. “Yang harus kamu kenal pertama tentang keluarga aku itu, wanita yang udah berkorban nyawa buat hadirnya aku.” Bisik Abian pelan.

Keduanya berhenti di sebuah makan bertulis nama—Indah Lembayung—pada nisannya. Tanahnya tampak basah, yang artinya baru saja dikunjungi oleh seseorang tak lama dari mereka. “Bunda, hari ini Abian nggak sendirian.” Abian tahu, berbicara pada tanah tidak akan pernah mengobati rindunya, tapi ini satu – satunya yang bisa ia lakukan pada Bundanya yang raganya tak lagi bisa ia temui.

Mata Abian berkaca – kaca, menatap Tata, intonasinya bicara pelan dan pilu. “Ini Tata, perempuan yang sama pentingnya kayak Bunda di hidup Abian. Bunda, tolong doain Abian hidup yang lama, biar Abian selalu bisa jaga bagian hati Abian ini. Tolong doakan juga Tata bahagia, biar umurnya panjang, supaya senatiasa sama Bian.” Tata menarik Bian dalam peluknya. Akhirnya luka itu Tata lihat, ternyata Tata tak sekuat yang ia kira, saat melihat rapuhnya kekasihnya itu.

“Abian…titip salam sama bunda.” Bisik Tata kecil, Tata memilih untuk membungkam dan menelan kata yang ia susun. Ia biarkan Abian terisak, setidaknya lega itu harus ada memberi ruang untuk Abian-nya. Dalam hati, Tata panjatkan doa untuk yang telah tiada raganya, supaya bahagia di surga.

….Bunda, terimakasih ya sudah melahirkan putra sehebat Abian Pratam… (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: