Bagian 15: “Di Ujung Tanduk”
Ari Hardianah Harahap--
Abian melihat ponselnya, lebih dari 1000 pesan datang dari nama yang ia sematkan dalam hatinya, Mayta Purnama, Tata, kekasihnya. Abian tidak menyangka Tata akan sekhawatir itu, apa yang mendasari pujaan hatinya itu tiba – tiba bertindak implusif memborbardirnya hanya untuk memberi kabar bahkan menuduhnya yang macam – macam, Abian tidak habis pikir. Sungguh, Abian tadi hanya lelah sesaat, dan emosinya tak sengaja ia lampiaskan pada Tata, jauh di dalam lubuk hatinya Abian merasa bersalah. Ia ingin memejamkan matanya, tertidur sebelum esok menemui Tata untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi tiba – tiba diantara mereka, sayangnya suara tangis Tata terus terngiang di kepalanya.
“Kak!” Abian seolah mendengar Jia—adik perempuannya—tengah memanggilnya berkali – kali. “KAK!” Suara teriakan itu membangunkan Abian dari tidurnnya.
“Jia?” Kaget Abian, Jia mengerutkan keningnya sebab reaksi kakanya yang terasa begitu berlebihan. “Apa sih? Kaget banget?” Tanya Jia heran, Abian tidak menanggapi lagi, ia kembali berbaring menutup dua matanya dengan lengan.
“Kapan?” Tanya Abian, Jia hanya mengdengus mendengat kalimat – kalimat singkat kakaknya itu, “Dari pagi” Balas Jia malas, meluruskan kakinya di sofa kamar Bian, tadinya ia berniat mencari buku milik kakaknya sebagai bahan referensi tugas kuliahnya. Namun, melihat drama yang terjadi di depan apartemen kakaknya saat ia ke minimarket membuat Jia diguncang rasa penasaran.
“Kak,” panggil Jia pelan, awalnya meragu, tapi mati penasaran juga sama tidak enaknya. “Cewe yang nangis di depan itu cewe lo? Kalian kenapa? Padahal tadi siang baik – baik aja.” Tanya Jia pelan – pelan, matanya menatap interior kamar kakaknya resah, hatinya pun ikutan resah, pertanyaan ini menentukan teka teki di hatinya, perihal ia yang salah sangka dan terlalu ikut campur.
Abian mengerutkan dahinya kala mendengar kalimat Jia yang mengganjal, “Tadi siang?” Kalimat itu menjadi tanda tanya besar bagi Abian dan Jia yang membasahi bibirnya, semakin resah kini di posisinya. Ia berdiri menatap buku – buku di rak kamar Abian yang berjejer rapi, “Cewe itu Moza kan? Mama sering cerita soal Moza ke gue, nggak secantik yang mama bilang ternyata, mama lebay banget.” Ujar Moza, “tadi siang, Moza ngechat lo? Dia nanya, gue coba balas seadanya, lo tau kan cewe nggak suka ditinggal tanpa kabar. Lagian lo sih pake ninggalin segala.” Lanjut Moza menatap Abian yang kini tampak marah dengan wajah memerah. Abian segera mengambil ponselnya, mencari riwayat terkahir gelembung obrolannya bersama Moza, obrolan yang menggambarkan sepasang kekasih yang saling perhatian.
“Sialan!” Umpat Abian, ia segera bergegas mencari kunci motornya, bahkan tidak sempat lagi menggunakan jaketnya, padahal sudah tengah malam, diluar tentu luar biasa dingin.
“Kak?!” Tanya Jia panik, melihat kakaknya yang tiba – tiba begitu terburu – buru dan terlihat marah…mungkin. “Kamu?!” Kesal Abian, ia menunjuk Jia tepat di depan wajah adiknya itu. Banyak kata yang ingin Abian lontarkan pada sang adik, betapa ia begitu menyebalkan menyentuhnya ranah pribadinya sembarangan, betapa ia begitu ingin mengumpat sebab sang adik membuat hubungan yang susah payah ia bangun bersama Tata ada di ambang kehancuran. Tapi, Abian hanya bisa diam, tanpa melontarkan kata apapun.
“Kamu pikir wanita cantik itu yang seperti apa? Yang seperti kamu? Yang seperti Moza atau bagaimana? Perempuan yang kamu bilang tidak secantik Moza itu, Jia. Buat Kakak, dia yang paling cantik. Bahkan lebih dari…Bunda” Abian menyempatkan dirinya untuk mengatakan itu sebelum menutup pintu apartemennya dengan suara bantingan yang keras.
“Kak…” Jia tercekat, sepuluh tahun, Jia tinggal hidup bersama Abian hampir sepuluh tahun, semasa itu Jia tidak pernah mendengar kakaknya mengakui hal seremeh temeh itu, bahkan Jia masih ingat saat pertama kalinya ia bertanya tentang penampilannya pada kakaknya, disaat seluruh anggota keluarga mengelu – elukan dirinya, Abian menjadi satu – satunya yang memandangnya begitu dingin. Sorot yang tak tersentuh, tapi perempuan itu…dibilang cantik oleh Abian, dikhawatirkan oleh Abian, perempuan itu membuat Abian marah dan juga panik.
Tata…andai kamu tau perihal Abian yang kini tengah kebut – kebutan membelah jalanan, menembusnya dingin tengah malam. Apa yang kamu risaukan? Semesatnya Abian itu kamu, jatuhnya kamu, hancurnya Abian. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: