>

Bagian 14: “Bidak Hubungan Lama”

Bagian 14: “Bidak Hubungan Lama”

Ari Hardianah Harahap--

TATA  pulang, pulang yang begitu sesak. Kali ini tidak ada cumbu mesra sebelum ia memasuki rumahnya, tak ada raut jijik sebab rayuan gombalan yang sering kala Tata tuturnya. Pulangnya kali ini terasa hampa, sebab tidak ada Abian. Tata bahkan tak mampu menyeret dirinya hanya untuk sampai ke kamar, sekedar membasuh wajahnya yang begitu kacau saja Tata tidak mampu. Ini luka pertamanya, luka yang begitu terasa saat bermasa Abian-nya. Tata menepuk dadanya keras, sesaknya tak sedari hilang, padahal dulu ia tak sesesak ini saat ditinggalkan.


yamaha--

“Abian brengsek, lo jahat banget sih sama gue?! Gue cuma minta kabar ya, sialan! Gue itu khawatir, apa sesusah itu ngetik bilang, saya baik! Tapi lo sesusah itu Abian?! Gue tu takut kehilangan bego! Apa sesusah itu untuk dipahami sih Abian!” Tata mendumal kesal dalam tangisnya, ia memukul – mukul lantai seolah itu Abian.

“Susah, Ta! Susah sekali! Tuntutan kamu yang terlalu banyak buat aku, terlebih lagi tuduhan kamu yang terus saja mengada – ada. Susah, Ta! Susah sekali rasanya!”

Kalimat Abian kembali berputar di otak Tata layaknya kaset rusak, “Apa yang pernah gue tuntut Abian? Apa yang pernah gue tuntut?! Tuduhan itu nggak akan ada kalo kamu nggak abai begitu aja Abian!!” Tata meraung, tangisnya semakin menjadi selain sebab perkataan Abian, Tata harus kembali mengingat peristiwa siang itu, siang yang memberinya renggang ruang percayanya pada Abian.

“Udah nunggu lama?” Tanya Moza—rekan kerja yang kebetulan teman kecil Abian dulu—Tata tersenyum kecil menggeleng, “Nggak kok, barusan aja.” Bohong, satu setengah jam Tata harus menunggu, jika bukan karena Moza itu atasannya, sudah Tata maki sedari tadi, “Ya! Buta mata lo liat jam?!” yang sayangnya harus Tata telan mati – matian, mau bagaimanapun ia, yang berkuasa tetap akan segalanya.

“Udah pesan?” Tanya Moza lagi, Tata menangguk, “Udah gue pesenin kok, Sun Dried Tomato Basil Pasta kan kayak biasanya?” Tanya Tata memastikan yang dibalas acungan jempol oleh Moza.

“Lo mesan apa?” Tanya Moza, “Carbonara lagi?” Lanjutnya, yang dibalas anggukan pelan oleh Tata. Ini bukan pertama kalinya, Moza dan Tata makan bersama di restoran yang menyajikan serba spaghetti dan pasta ini. Tuntuan pekerjaan mengharuskan Tata untuk terus berinteraksi dengan Moza yang sebenarnya Tata akui sangat melelahkan dan risih. Sebab, sejak pertemuan tak sengaja Moza dan Abian kekasihnya, disetiap ada waktu dan kesempatan Moza tidak akan pernah absen menceritakan masa kecilnya bersama Abian. Abian yang beginilah, Abian yang begitulah. Terlebih lagi, Moza yang memang dekat dengan mama Abian sejak dulu. Tata muak mendengar perempuan itu yang selalu membanggakan Mama Abian melebihi dirinya sendiri.

Tata jelas tahu maksud dari segala tingkah laku Moza, perempuan itu menyimpan rasa pada kekasihnya. Tapi, selama Abian tidak meninggalkannya, maka Tata tidak akan ambil pusing. Tata tidak akan munafik, ada masa – masa dimana ia mepertanyakan kelayakannya untuk bersanding bersama Abian. Moza ini……Apa iya tipe yang disukai Mama Abian? Yang menjadi standarisasi seorang perempuan untuk layak berdiri disamping pria dari keluarga Prahtama?

“Kalo aku jadi mama temenmu itu, semisal aku benar – benar suka, nggak akan aku lepas itu si perempuan. Tapi, kalo nyatanya si perempuan itu yang berharap gimana? Padahal orangtua pihak laki – lakinya biasa aja.” Jawab Bian saat Tata bertanya – tanya tentang ia dan Moza berdalih kalimat—ada temenku—menutupi krisis kepercayaan dirinya.

“Ta, kalo nyatanya aku cuma mau dan cinta sama kamu, yang lain nggak berhak berharap apa – apa untuk turut campur dalam bahagianya aku. Kamu itu kompasnya, kamu hilang, duniaku padam, buta arah.” Tata percaya, hingga detik saat Moza menampilan deret chatnya bersama Abian, sedang Tata meresah seharian, perihal kabar kekasihnya yang tak kunjung ada eksistensinya.

Kata – katanya mesra, perhatian itu tidak ditunjukkan Abian padanya, Tata cemburu, hatinya panas, kepalanya hampir meledak saat membaca—ya, jangan lupa makan siang—sedang ia setengah mati mencari sekais kabar pemuda itu. Moza menyadari ekspresi Tata yang berubah, “Abian ngabari lo kan, Ta? Itu anak kan kebiasaan nggak suka kabar – kabaran.” Tata tau, perkataan Moza itu sindiran telak untuknya. Moza harus menelan pahit siang itu, pikirannya berkecamuk kemana – mana, tentang Abian dan Moza, tentang ia yang takut ditinggalkan, tentang ia yang tak mau kehilangan Abian.

“Abian ngabarin gue kok, emang guenya aja yang mager balas.” Jawab Tata. Tata tidak tahu, kalimat bohong itu guna untuk menyelamatkan harga dirinya atau kalimat penenang belaka hatinya yang luluh lantak. Abian…cepat berkabar, sebelum perang pecah, hingga merusak kata ‘kita’. (bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: