Bagian 4: “Rekayasa Cinta”
Ari Hardianah Harahap--
“Bangun, dunia sudah cukup banyak polutan, jadi jangan sampai beban kayak lo jadi pengangguran”
-Abian, Manusia realistis abad 22-
>>>***<<<
Kurang ajar memang! Bisa- bisanya perempuan itu sungguh percaya diri, Abian ingin menyangkal bahwa ia kesal, tapi senyum tipis di bibirnya mengalahkan seribu satu argument yang terususun di kepalnya, hatinya tak bisa mengelak, nama Mayta Purnama terus ia ulangi, ia ingat ingat selalu, mana tau diantara mereka, doa perempuan itu benar nyatanya dijabah oleh sang maha kuasa.
Tata tidak pernah tau, bahwa ia akan ada di fase menatap gantungan kunci hasil pungutan jauh lebih nikmat dibanding banyaknya memandang aktor tampan drama korea di laptopnya. Harinya kali ini cukup menyenangkan, awali hari dengan sarapan yang baik, dan tidur yang cukup. Menjadi pengangguran di awal bulan memang terasa menyenangkan, setidaknya sebulum saldo di rekeningnya berubah menjadi dua ribu perak atau tumpukan uang di dompetnya habis.
Cinta…kini sudah direkayasa…
Diolah alih…semanis madu…
Tetapi berbisa… (Hey tapi berbisa)…
Cinta…kini sudah jadi dilema…
Beritanya pun selalu jadi…
Topik utama… (Hey Topik Utama)
Nada dering dengan lagu cinta rekayasa-camelia itu terdengar riang mengisi setiap ruang suara kamar Tata, ia pastikan itu Mamanya yang sudah siap mengomel tujuh keliling sebab agendanya yang kini hanya jadi pengangguran di perantauan, walau terasa ogah – ogahan, Tata tetap mengambilnya, menjadi manusia tidak berguna, tentu saja boleh, itu keputusan mutlak individu. Tetapi manjendi durhaka, itu bukan pilihan, setidaknya kita harus berterimakasih bahwa kita masih dilahirkan dengan organ utuh tanpa kekurangan.
“Halo Ma, Tata sehat kok, nggak usah nanya itu, kalo Tata sakit pasti Tata kabari. Tenang, Mama nggak perlu ngomel, Tata bakal hidup bahagia disini walau jadi pengangguran dan pulang kalo punya uang, take it easy, Ma. Stay calm…” Jika Tata disandingkan dengan Rania—Mamanya—orang – orang pasti akan dengan mudah tahu, darimana sifat ceriwis dan tenaga ekstra milih Tata tersebut, mengingat ibu dan anak ini tidak terlalu jauh perbedaan tingkah hingga bentuk dan tubuh wajah mereka.
“Luar Biasa beradab anak muda,” Suaranya berat, dingin dan terlalu khas. Tidak mencerimankan suara Rania sama sekali, membuat Tata mengerutkan dahinya, cukup menakutkan jika yang mengangkat telpon ini Ayahnya, mengingat cinta pertamanya itu bersatu dengan alam dua tahun lalu. Ya, penghiburan di tengah duka yang tidak begitu ladzim, tetapi bagi Tata itu lebih dari cukup untuk tidak merasa ditinggalkan.
Tata menatap ponselnya, nomor yang tidak ia kenal, “Halo? Siapa?” Tanya Tata to the point, berbasi – basi dengan orang – orang tak dikenalnya akan menghabiskan waktu berharganya untuk menikmati setiap momen romantis yang dilakoni pria tampan favoritnya.
“Saya…”
“Kalo lo lama, gue matiin, orang sibuk,” Potong Tata cepat.
“Tapi, kamu baru dipecat kemarin!” Tata memelototkan matanya, “Ngaku lo nguntit gue kan? Wah…harus gue kaduin polisi nih!” Ujar Tata entah pada siapa.
“Saya Abian,” Balas Abian cepat, Abian tidak menyangkan jika efek samping kehilangan pekerjaan akan membuat seseorang begitu korsleting, tapi benar adanya mengingat indeks pendapatan dan pekerjaan juga berpengaruh besar pada tingkat laju kesahjetraan masyarakat, terutama Indonesia yang daya konsumsinya terlalu besar, implusif terhadap tren dan barang dengan branding ‘kekinian’
Tata tersenyum. Tentu ia mengenal suara Abian dengan baik walau pemuda itu sangat jarang berbicara, awalnya ia memang salah mengira jika yang menelpon adalah Mamanya, setelahnya ide jahil untuk menggoda Abian terdengar sangat menyenangkan di telinganya.
“Ini Abian siapa? Abian mantan saya…atau…” Tata sedikit merubah intonasi suaranya, ia terasa tengah melakukan catcalling pada pemuda di seberang telepon ini, “Abian calon pacar saya?” Tata berusaha menahawan tawanya mati – matian, sungguh keterdiaman Abian membuat Tata dapat membayangkan reaksi kaku di wajah pemuda es batu itu.
“Saya Abian, direktur keuangan, ada surat panggilan pemindahan divisi dari HRD, bagian akuntan, dalam dua jam, laporan kehadiran kamu harus ada, atau selamat jadi pengangguran!” Abian segera mematikan teleponnya. Tata berusaha memproses perkataan Abian, kemudian panik kelimpungan mencari setelan kerja dan make-upnya, bahkan ia tidak sempat menggunakan heelsnya dengan baik, berlari mengejar angkutan umum terdekat.
“Abian sialan, mentang – mentang anak konglo, buat orang kesusahan!” Misuh Tata menirukan iklan permen yang bersiliweran di televisinya. Tata tidak mendapat tempat untuk duduk di dalam bus membuat ia harus berdiri sembari memperbaiki riasannya. Namun, ditengah itu ia tahu seluruh orang memperhatikannya. Tata menatap satu demi satu orang disana, rautnya bertanya hingga seorang ibu muda menghampirinya.
“Neng, sepatu sama sandalnya lagi tren ya?” Tanya Ibu itu, Tata melihat kakinya, kaki kanannya terpasang heels merah mencolok dengan harga satu setengah juta sedang kaki kirinya terpasang sandal rumah yang harganya hanya dua puluh ribu, sungguh kesenjangan yang nyata dalam dunia peralas kakian ini.
“Iya bu, tapi kalo bisa jangan ditiru, soalnya saya juga malu.” Tata tahu menutup wajahnya tidak akan mengubah apapun, sungguh Abian sialan itu, ingatkan Tata untuk memberi perhitungan. (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: