>

Bagian 3: “Otw Dipanggil Sayang”

Bagian 3: “Otw Dipanggil Sayang”

Ari Hardianah Harahap--

“Manusia itu berubah -ubah, hari ini ia bilang cinta setengah mati besok ia khianti sampai mati. Jadi jatuh cinta sewajarnya, biar sakit juga sewajarnya”

-Abian, Bulol (Calon deng)-

>>>***<<<

Keluarga besar Abian berkumpul, di setiap minggu terkahir di akhir bulan. Sudah menjadi kebiasaan, akan ada kakek, bibi, paman dan sepupunya. Semuanya akan berkumpul, katanya untuk saling bercengkrama dan membangun tali silahturahmi lebih erat, tapi Abian tidak melihat mananya yang saling mengeratkan selain sindir menyidir siapa yang lebih baik dari siapa, membandingkan siapa yang lebih pantas menduduki siapa? Jika wacana itu tidak di pertanyakan tentu pertanyaan tentang ‘kapan nikah’ akan menyerang Abian.

“Abian kapan bawa gandengan kesini?” Adik termuda dari ayahnya bertanya, salah satu anggota keluarga yang sangat dekat dengan adiknya, Jia, tapi ia benci setengah mati bahkan hingga akhir nafasnya.

“Memangnya harus?” di seberang sana, Mama tersenyum canggung, sirat wajahnya menunjukkan permintaan maaf pada tante Ria sebab perkataanya yang terdengar tidak sopan, Abian sengaja dan akan selalu seperti itu, hormatnya akan ia tujukan pada orang – orang yang layak untuk dihormati.

Abian melihat Tante Ria tidak terlalu mempermasalahkannya, membuatnya mendengus, “Ya, harus dong, Yan. Nanti keburu tua, susah nyarinya,” Ujar Ria, entah apa maksudnya. Bian menghela nafas malas, menatap tante Ria dengan senyum miringnya, “Buru – buru kayak tante juga nggak ada gunanya, umur nikahannya masih mudah padahal, udah cerai aja.” Hening, Abian akan selalu mendorong telak orang – orang yang mengusiknya, tidak peduli siapapun dia. Meja makan kembali ribut setelah beberapa saat, banyak topik yang timbul, bagi Abian yang menyukai hening, meja makan ini terlalu berisik.

Berisik.

Kata itu mengingatkan Abian pada perempuan ceriwis yang seringkali menempelinya di taman dengan segudang cerita dari antah berantah, laporannya yang hilanglah, kopi kafe depannya yang tidak seenak biasanya, perempuan itu juga berisik tapi Abian tidak merasa terganggu sama sekali. Abian mengingat wajah perempuan itu dengan berbagai ekspresi dan nada bicara, sedih tiba – tiba, senang tiba – tiba, bahkan marah pun tiba – tiba. Gantungan kunci di meja makan yang menjadi souvenir dari restoran kali ini, tidak Abian tinggalkan begitu saja, entah kenapa hari itu ia membawanya bahkan menulis sederet angka yang tak pernah ingin ia bagi pada siapa – siapa selain keluarga intinya. Abian bangkit dari duduknya, meninggalkan meja tanpa pamit, seperti biasanya, tokoh utama akan selalu meninggalkan kesan tidak terduga.

Abian mengganti jas dan kameja dengan kaos oblong, duduk di kursi taman tempat ia dan perempuan tersebut biasanya bertemu dan menghabiskan waktu dua jam setengah kedepan mendengar keluh kesah perempuan itu yang tiada habisnya. Abian meremat saku celananya erat, saat ia melihat perempuan itu berjalan ke arahnya dan duduk bersandar. Abian tidak tahu mengapa ia harus gugup, padahal ia hanya ingin memastikan tidak lebih, tapi debar dijantungnya sungguh menggila.

“Apa gue tilep aja ya duit si Adin bener – bener, biar nggak jadi fitnah doang.” Abian tidak mengerti jalan pikiran perempuan itu, padahal ini bukan pertama kalinya Abian mendengar perempuan itu seperti dirundung oleh rekan kerjanya. Bukan resign, ia malah bertahan dengan dalih sulit mencari ‘nyaman’ yang sampai detik ini tak Bian pahami.

“Sepatu lo lebih dari cukup buat ganti itu.” Ujar Abian, ia beranjak dari duduknya, meninggalkan perempuan itu, hedon, Abian jelas salah, memastika perasaanya hanya akan membuang waktu berharganya. Abian tidak tahu mengapa ia harus melangkah mundur, merogoh sakunya dan memberi gantungan kunci itu.

“Buat lo,” Mata perempuan itu tampak berbinar, Abian just being Abian, selama perasaanya belum pasti, tidak boleh ada harapan. “hasil mungut dijalan.” Abian terdengar seperti laki – laki gengsi yang cinta tapi sulit mengutarakannya, pemikiran itu memberi rasa geli berlebih pada bagian bagian tubuhnya yang membuat ia ingin menggeliat seketika saat itu juga. Setelahnya Abian berjalan cepat, ia tidak benar – benar pergi meninggalkan perempuan itu yang tengah tertawa terbahak – bahak sendiria. Abian menunggu tak jauh dari tiang listrik yang menyembunyikan tubuhnya dengan sempurna. Lima menit, tawa itu tak lagi terdengar, Abian tidak lagi melihat arah perempuan itu, hingga suara teriakan itu terdengar.

“YA TUHAN, TOLONG BUAT ABIAN INGAT NAMA HAMBA ITU MAYTA PURNAMA, SERING DIPANGGIL TATA TAPI OTW DIPANGGIL SAYANG SAMA ABIAN!” Teriaknya. (*)

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: