Bagian 7: “Nyata dan Asa”

Bagian 7: “Nyata dan Asa”

Ari Hardianah Harahap--

“An, kamu punya harapan, tapi dunia punya kenyataan”

>>>***<<<

Sara duduk melamun di teras rumahnya, tiga bocah usil manjanya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu setelah mengahabiskan camilan dan tenaga mereka bermain ular tangga, bahkan Sara harus pasrah tiga bocah itu menghabisi tepung untuk stok kuenya besok. Sara tidak pintar memasak, tapi ia menggemari kegiatan tersebut sebagai pengusir jenuh dan lelahnya selain bermain bersama Sadam dan Garasa. Roan terbilang cukup dingin dan jarang menyambangi rumahnya, jadi intensitas Sara menghabiskan waktu bersama Roan terbilang sedikit selain karena faktor kepribadian Roan yang berbeda dari Sadam yang hangat dan Garasa yang manja.

“An, belum tidur?” Sara cukup terkejut mendapati Roan yang terdiam di sofa ruang tamu. Roan menggeleng dan mendakati Sara, kalimatnya tampak ragu, “Kak…” Panggil Roan pelan, Sara dapat merasakan Roan gugup, bahkan dari genggaman tangan Roan di sisi samping bajunya terbaca jelas dengan Sara jika Roan menyimpan resah lain yang ingin ia bagi namun masih ragu untuk berbagi bersamanya. Sara tersenyum kecil, memaklumi. Seolah tau apa yang nanti akan dibagi oleh remaja satu ini.

“Roan lapar?” Tanya Sara hangat, Roan yang tadinya menunduk mengangkat kepalanya. Sara memberikan senyum terbaiknya, merangkul pundak Roan hangat dan menarik remaja laki – laki itu untuk mengikutinya, “Ayok kakak buatin nasi goreng, tapi temenin kakak di dapur ya.” Sara tak mendengar respon apapun dari Roan selain mengikutinya.

Roan duduk di meja makan, dan Sara sibuk menyiapkan bahan – bahan hingga alat memasaknya. Diselang kegiatannya ia memberi pertanyaan – pertanyaan kecil pada Roan.

“Gimana sekolahnya?” tanya Sara sembari mengiris bawang, posisinya membelakangi Roan.

“Baik,” Jawab Roan singkat, ia memalingkan wajahnya entah pada siapa. “Oh ya? Baik yang gimana?” Tanya Sara lagi, ia sempatkan menatap Roan dari pantulan kaca yang tak jauh darinya.

Roan hanya diam tak menanggapi pertanyaan Sara, “An, laper banget ya sampai susah cerita, pelan – pelan aja ceritanya, biar nggak kerasa kalo tau – tau nasi gorengnya udah masak.” Lanjut Sare terkekeh. Roan masih diam bahkan sampai Sara menyajikan nasi goreng itu didepannya. Sara tersenyum menunggu Roan.

Roan menatap Sara gamang, ia ambil sendok di sisinya pelan, memakan makanan buatan Sara itu peralahan, tangannya gemetar, semua tingkah Roan tak luput dari perhatian Sara.

“Ini tahun kedua An jadi ketua basket di sekolah,” An, panggilan kecil Roan itu lama tak didengar Sara, terakhir kali sebelum tragedy itu terjadi. “An, sering berantem sama Sadam, tapi bukan berarti An benci Sadam. An sayang Sadam, Garasa, Kak Sara juga…”Nada bicara Roan bergetar.

“An, juga sayang abang kak.” Akhirnya tangis itu pecah, “Kalian nawarin An rumah yang nyaman, tapi An nggak mungkin ninggalin abang yang udah ngajarin An buat kenal dunia duluan. Kalo An ditanya, An nggak bisa milih diantara kalian, kehilangan itu nggak enak. Tapi, An dipaksa buat ngerasain itu.”

“An…” Roan tidak lagi melanjutkan kalimatnya, hening diantarnya dan Sara.

Sara bangkit dari duduknya, memeluk Roan sebentar dan mengusap kepala Roan pelan, meninggalkan Roan dengan tangisnya sendiri, “An, kamu punya harapan, tapi dunia punya kenyataan.” Ujar Sara pelan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: