Bagian 4: “Jaga Diri Baik – Baik”

Bagian 4: “Jaga Diri Baik – Baik”

Ari Hardianah Harahap--

“Tolong pahami ya khawatirnya, biar manusia satu ini tidak merasa sia – sia waktu dan tenaganya, sudah ia berikan segalanya, agar tak lagi ada duka dan luka yang menghampiri, jadi tolong jaga diri baik – baik sampai waktu dimana benar – benar pulang itu tiba”

-Sara

>>>***<<<

Sara tidak tau harus merespon seperti apa pada tiga remaja tanggung yang tengah memenuhi sofa rumahnya, dua orang dengan wajah babak belur mereka yang terus meringis sedari tadi, sedang satunya lagi setengah gila yang tak berhenti menggoda dan menempelinya sejak awal kedatangannya.

“Mereka kenapa?” Tanya Sara pada Garasa yang tengah memainkan rambut panjangnya, Garasa mengangkat bahunya acuh, tak menggubris pertanyaan Sara yang membuat Sara terpaksa melayangkan jitakannya pada remaja awut – awutan itu.

“Sopan dikit sama yang lebih tua! Ditanya itu dijawab loh, Sa” Ujar Sara yang dibalas dengusan malas oleh Garasa. Remaja itu akhirnya bersender santai pada Sara, “Ya, apalagi?” Jawab Garasa. “Memangnya kalo udah biru – biru sama berdarah gitu ada kemungkinan lain selain percobaan pembunuhan berencana,” Lanjut Garasa, ia menatap malas Sadam dan Roan yang masih memicingkan mata satu sama lain. Aura permusuhan pada keduanya terasa kental. Andai tatapan bisa membunuh, mungkin Garasa dan Sara sudah menyaksikan wujud Sadam dan Roan yang berdarah – darah tidak berdaya.

“Ya gara gara apa Garasa?!” Tanya Sara, nada bicaranya naik satu oktaf, sungguh menghadapi bocah seperti Garasa lebih susah dibanding menghadap boss di kantornya. Garasa mencebikkan bibirnya layaknya balita lima tahun, tak ingin menjawab pertanyaan Sara, memilih menyandarkan dirinya semakin nyaman di lengan Sara dan memejamkan matanya bersiap tidur.

Sara menghela nafas, sungguh ia ingin menangis. Namun, air matanya terkuras habis sebab tiga remaja ini lebih dulu menyulut sumbu emosinya, hingga ia merasa pening. Ini bukan pertama kalinya, Sara harus menghadapi tingkah Garasa yang katanya saja ‘Brandal Jalanan’, padahal hanya anak manja yang suka memaksa, dan sering kali usil pada Sara. Ini juga bukan pertama kalinya, Sadam pulang dengan keadaan babak belur, Sara paham, remaja seusia mereka wajar membuat pertengkaran, meninggalkan beberapa jejak biru di wajah. Tapi tidak separah hari ini, hingga Sara harus melihat darah yang mengalir dari hidung Sadam dan Roan. Cukup lama Sara tidak melihat Roan bermain bersama dengan Sadam dan Garasa, dan setelah sekian lama ia malah mendapati bocah itu datang dengan keadaan terluka.

“Garasa,” Panggil Sara, Garasa membuka satu matanya, mengintip, Sara terkekeh, “Nggak usah pura – pura tidur, sana ambil P3K di dapur,” Suruh Sara pada Garasa. Mendengar perintah Sara, Garasa semakin menenggelamkan dirinya di sofa empuk yang ia tiduri sekarang, “Eung…” lenguhnya, menghayati akting pura – pura tidurnya, seolah hampir terusik dengan suara Sara.

“Ada donat di dapur, sekalian aja.” Sara tersenyum miring, ada untungnya ia memahami setiap karakter tiga laki – laki beranjak dewasa ini. Sara tahu, Garasa tidak mungkin tahan menganggurkan makanan kesukaannya, “Rasa coklat.” Lanjut Sara. Garasa segera bangkit, wajahnya memerah, tidak lagi melihat Sara, Sadam, dan Roan yang tertawa pelan melihat tingkahnya, segera melaksanakan perintah Sara dan mengambil donatnya.

Atensi Sara kini beralih pada Sadam dan Roan yang masih saling mendiamkan, “Jadi?” Sara mengawali, memberi kesempatan salah satu diantaranya untuk lebih dulu bicara menjelaskan apa yang terjadi diantara mereka.

“Roan salah,”

“Sadam salah,”

Keduanya mengawali kompak, Sara tersenyum tipis. “Kenapa ngaku salah? Padahal kalian belum ada yang cerita.” Sara selalu maklum, tidak ada yang dia permasalahkan dengan sangat apapun urusan Sadam dan teman – temannya, mengingat Sadam selalu mengenalkan Sara pada temannya, menjadikan teman Sadam juga adik bagi Sara seperti Garasa dan Roan. Hanya saja, hatinya panas, ia terluka, sebab Sadam kembali pulang dengan darah, apa Sadam tidak bisa mengerti, sekhawatir apa dia, Sadam itu keluarga satu – satunya, dan Sara benci untuk kembali kehilangan. Nada bicara Sara tegas, kedunya tau kemarahan Sara artinya masalah, masalah besar.

“Kakak kurang pengertian ya sama kalian, kakak pernah larang apapun yang kalian mau, kakak pernah marah sama apa yang kalian lakuin? Pernah Sadam?” Tanya Sara kesal, ia menatap Sadam yang hanya menunduk. “Pernah Roan?” Tanya Sara lagi pada Roan, marahnya Sara kali ini perihal luka dan kecewa.

“Merasa hebat pulang berdarah – darah gini? Sudah merasa jago kalian? Atau mau sekalian kakak belikan arena buat kalian, biar kakak tau siapa yang lebih hebat, jangan berenti sampai ada yang mati. Mau?!” Tanya Sara, wajahnya memerah, nafasnya menggebu, ia mengepalkan tangannya erat. “Tolong komprominya, kakak udah pengertian, jangan kasih kakak hal yang mengkhawatirkan,” Sara menghela nafas, nada bicaranya mulai rendah. Ia mengamati sesaat keduanya, “Bersiin luka kalian, selesai masalahnya. Jangan berani pergi, sampai kakak tau kalo masalah kalian bener selesai,” final Sara, meninggalkan Sadam dan Roan di ruang tamu, memberikan keduanya waktu pribadi.

Sara berjalan menuju dapur, memgecek kondisi Garasa. Satu donat jatuh di lantai, Sarah tidak marah, hanya saja ia tidak kuasa, tangisnya pecah, ia peluk erat dirinya sendiri dalam – dalam, ia benci semua hal yang terasa sakit dan menyesakkan di hatinya ini, ia benci menjadi seseorang tidak berdaya yang membiarkan banyak luka di sekitarnya terbengkalai, ia benci harus menjadi seseorang yang pasrah pada duka yang mengelili mereka. Sara memukul dadanya kencang, “Kenapa harus mereka, lukanya kenapa harus mereka?” (bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: