>

Bagian 3: “Lawan, Bukan Berarti Nggak Bisa Jadi Kawan”

Bagian 3: “Lawan, Bukan Berarti Nggak Bisa Jadi Kawan”

Ari Hardianah Harahap--

“Makin tinggi pendidikan itu makin berwawasan, bukan apa – apa dikit, dilawan. Itu otak dipakai, jangan jadi pajangan, sensitif amat perasaan”

-Garasa, jangan sampe gua jadiin bakwan ya manusia - manusia sekalian

>>>***<<<

“Powernya lebih dikuatin,”

“Jangan lembek, kita nggak akan menang kalo kalian males – malesan”

“Cing, lo lembek banget, beban tim lo!”

Sadam nyaris melemparkan bola basket ditangannya jika tidak ingat janjinya pada Sara untuk tidak menjadi siswa bermasalah, cukup sudah Sara susah dengan keadaan mereka kini, jangan lagi buat Sara mengeluarkan banyak tenaga hanya untuk hal sepele karenanya. Wajah Sadam merah, menahan amarah, jika saja, jika saja bisa, sudah Sadam layangkan bogeman mentah gratis untuk siswa yang sedari tadi sibuk berteriak di pinggir lapangan itu.

“Dam, udah jangan diurusin, bukan bagian dari kita.” Ujar Garasa, menarik Sadam untuk duduk bersamanya di tribun, memberikan minuman kaleng dingin pada Sadam. Garasa Andreano, brandalan jalanan, yang namanya dimuseumkan di oleh guru BK sekolah mereka. Tiga kata yang sangat menggambarkan seorang Garasa, acak – acakan, lebam, dan berantakan. Satu – satunya yang mampu membuat Garasa bertahan menjadi seorang siswa di SMA mereka hanya untuk mengingat wewenang ayahnya yang menjadi donator tetap hingga Garasa lulus. Garasa tidak menampik apapun tentang fakta yang sudah menjadi rahasia umum di angkatan mereka, rasanya kebal mendengar cacian dan hinaan, dan Sadam menjadi satu – satunya yang mengulurkan tangan.

“Nggak ada yang salah, lo punya wewenang, punya uang, apa yang harus gue permasalahkan? Nggak adil? Gue nggak bisa maksa tuhan soal keputusan.”

Sadam itu bukan orang yang religius, nyaris tidak pernah Garasa menemukan Sadam di tempat ibadah manapun, hanya saja, bagaimana pemuda itu melangkah dengan mengingat tuhan pada tiap hela nafasnya, Garasa tau, beriman itu banyak bentuknya, keyakinan itu bisa dalam rupa apa saja, selama yang diajarkannya masih tentang kebaikan dan tidak membenarkan kesalahan, maka taatnya senantiasa terjaga dan aman.

Sadam melemparkan bola basketnya sembarang, menggeliding hingga ke tengah lapangan dimana tim basket yang terdiri dari beberapa teman dan adik kelasnya itu memberi atensi sesaat padanya, sebelum kembali melanjutkan permainan.

“Emosi gue liatnya, seenak jidatnya nyuruh, nggak liat itu udah ada yang mau pingsan!” Sadam dan sisi kemanusiannya itu luar biasa, patut diacungkan jempol tangan dan kaki.

Garasa menghela nafas, “Ya udah sana main, tunjukkin gimana cara yang benar dan baik jadi ketua tim!” Sarkas Garasa. Susah menghadapi orang denial seperti Sadam, bukan sekali dua kali Sadam mengajaknya untuk menonton tim basket yang sedang berlatih, kemudian pulang dengan ampas, gerutuan yang tanpa henti datang dari Sadam, koreksi teknik, strategi, hingga cara ketua tim basket sekolah mereka memimpin permainan simulasi.

“Nggak bisa!” Balas Sadam kesal, matanya memincing menatap Roan intens, rasa – rasanya terpilihnya Roan menjadi tim basket sekolahnya satu tahun yang lalu sangatlah tidak tepat menurut Sadam.

“Kenapa? Takut? Cih, pengecut!” Garasa tidak lagi memperhatikan tatanan kalimatnya yang terlontar pada Sadam. Rasa muak sudah membumbung tinggi dalam hatinya, kepalanya panas, apalagi telinganya, ia bukan Sadam yang menggerutu terus terusan, prinsipnya, tidak suka ambil tindakan, selalu ada jalan tengah dalam perseteruan, bahkan jika harus tawuran. Sematan brandalan jalanan tidak begitu saja ia dapatkan, Garasa dan Sadam itu sangat bertolak belakang, anehnya pertemanan yang mereka jalin, bertahan hingga bertahun – tahun lamanya.

Garasa mengambil bola basket cadangan di tribun, kemudian mendriblle dan melakukan lay-up yang membuat permainan tim basket berhenti sesaat. Garasa melirik sebentar, posisinya membelakangi seluruh orang, ia kembali mendribllekan bola basket tanpa kesulitan sama sekali.

“Ayo main,” Ajak Garasa tiba – tiba, “Lawan gua, kalo gua kalah kalian bebas minta apa aja.” Garasa terlahir dengan sendok emas dimulutnya, tentu tidak akan ada yang meragukan kemampuannya soal uang dan harta. Ajakannya sedikit membuat keributan kecil, decakan tidak menyangka juga kagum bersahutan, “Tapi…” Garasa mengangantungkan kalimatnya sesaat, menatap tim basket satu per satu, “kalo gua menang, satu permintaan dari gua. Deal?” tanya Garasa, tim basket menatap Raon yang menyimak sedari tadi tingkah Garasa, kemudian tersenyum remeh, memberikan anggukan, yang artinya ia akan turut andil dalam permainan.

“Panggil tim lo,” Suruh Raon, nada bicaranya terdengar angkuh, seolah ia lah yang akan memenangkan pertaruhan ini.

Garasa terkekeh pelan, bola basket ditangannya ia lemparkan pada Sadam yang tercengang di pinggir lapangan tengah menonton perseteruan yang terjadi, “Lemot!” umpat Garasa pelan nyaris berbisik melihat tingkah sahabatnya itu. “Gua cuma butuh Sadam buat ngalahin lo semua,” Ujar Garasa, “cupu!” lanjutnya.

Sadam berdecak kesal, tidak mungkin ia membiarkan Garasa bermain sendirian. Garasa dapat membaca baik dengan Sadam, ia terbiasa mengunkan kekuatan, otot dan kekerasan. Tapi, Sadam, pemuda itu punya otak, strategi, dan permainan yang mumpuni. Lalu apa yang Garasa khawatirkan, perihal kalahpun, uangnya tidak akan habis dalam semalam bukan?

“Ngotak dikit anj—” Sadam jadi melanjutkan kalimatnya, Garasa tertawa pelan meresponnya.

“Susah ya bergaul ya sama murid teladan, ngomong ANJING aja susahnya bukan main.” Ejek Garasa menekankan beberapa bagian kata dalam kalimatnya. Sadam jengkel tapi ia tidak bohong bahwa ia menikmati ulah akibat kelakukan Garasa.

“Jangan sampe kalah, kalo lo kalah, gue aduin kalo kancut lo hilang satu di jemuran sama Kak Sara!” Ancam Garasa. Pertandingan basket Garasa dan Sadam versus tim basket sekolah mereka dimulai.

“Berisik!” Respon Sadam, “Pembahasan lo nggak berguna!” Lanjutnya.

“Beneren, kalo kalah, Kak Sara gue pacarin! Liat aja!” Permainan dimulai, Sadam dan Garasa bermain leluasa, bola basket terus ada dalam kendali mereka. Pertengkaran Sadam dan Garasa pun masih bertahan.

“Nggak usah sok manggil Kak! Dia kakak gue, bukan kakak lo!” Balas Sadam.

“Dih!!! Anak manja emang beda!”

“Apa maksud lo bilang gue manja?!” Sadam tak terima,

“Memagnya gue bilang lo?!” Balas Garasa tak kenal takut.

“Sialan!” Balas Sadam.

“Takut…Sadam ngomong sialan…kaduinn!” Ejak Garasa lagi, bola basket kini dalam tangannya, satu tembakan maka ia akan mencetak poin pertama, sayangnya digagalkan oleh Sadam yang mengambil alih saat Garasa lengah, membuat poin pertama dalam pertandingan dicetak oleh Sadam. Garasa tersenyum miring, menatap Raon dari ekor matanya. Jalan ceritanya tertebak dengan mudah oleh Garasa, permainan kembali dilanjutkan, hanya saja alih – alih Garasa melawan tim basket, pertandingan ini lebih seperti permainan individu Sadam dan Raon. Bahkan hingga Garasa dan tim basket melipir ke pinggir lapangan, keduanya fokus dalam permainan mereka.

“Taruhannya gimana bos?” Tanya salah satu anggota tim basket pada Garasa.

“Cabs……ke kantin!” Garasa tersenyum hangat merangkul anggota basket di sebelahnya, mengajak tim basket bersamanya.

“Mereka?” Tim basket memberi atensi pada dua manusia dilapangan yang nampak sengit bertanding satu sama lain. Garasa mengangkat kedua bahunya acuh, tersenyum tanpa beban seolah ia juga tidak tahu menahu.

“Biarin, biar puas mainnya” Jawab Garasa, “Biar selesai dendam – dendamannya” (bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: