Bagian 1: “Kita di Pagi Penuh Warna”

Bagian 1: “Kita di Pagi Penuh Warna”

Ari Hardianah Harahap--

“Pagi itu kucinya hari, apapun kondisinya, jangan marah, bisa saja hari yang tadinya penuh warna harus sirna, cuma karena amarah sementara yang sia – sia”

-Di Sudut Kota, Ada Kita.

(Dengerin lagu “Buka Semangat Baru” coba)

>>>***<<<

Tidak ada yang lebih di pagi selain tidur hingga jam 10 pagi, terutama di hari Senin. Entah hari Senin itu memang selalu menyebalkan atau ia terlalu kufur nikmat setelah hari Minggu, walau singkat, setidaknya ada. Sara terpaksa membuka matanya, mau ia bukan morning person sekalipun, bangun pagi enam kali dalam seminggu itu minimal harus ia lakukan, demi cuan, dan demi seonggok manusia yang mengorok keras di sampingnya. Bahkan tidur saja, Sara tidak mendapat tidur yang layak. Alarm berbunyi nyaring, nyaris memekkan telinga. Namun, manusia yang masih dengan alam mimpinya itu semakin nyenyak, pelukannya pada bantal guling berbau iler itu semakin erat, sarung yang melilit tubuhnya, semakin membungkus rapat. Sara menghela nafas kesal, ia tarik nafas dalam – dalam sebelum melancarkan aksi heroiknya.

“SADAAAMMMM, BANGUN LO!” Teriak Sara kencang persis di samping telinga Sadam, membuat sang empu terlonjak jatuh dari kasurnya, kaget dengan auman singa tiba – tiba di pagi hari. Melihat gelagat Sadam yang tidak akan memejamkan matanya lagi, Sara mengukir senyum lebar. Ia dekati adik laki – lakinya itu, mengusap rambut hitam lebat Sadam yang tengah memincing ganas padanya.

“Anak pinter, mandi yang cepet, sarapan, pake seragam rapi – rapi, biar gua anter ke sekolah. Yok bisa yok jadi presiden.” Ujar Sara, kalimat yang sama yang setiap harinya ia lontarkan pada Sadam. 

“Siapa yang mau jadi presiden?!” Tanya Sadam kesal, ia tepis tangan Sara dari kepalanya. Berdiri tegak, membuat Sara harus mendongkak menatapnya. Sara berpikir lama, sejak kapan adiknya tumbuh sebesar ini, padahal seingat Sara dulu, Sadam masih sosok anak laki – laki setinggi pinggangnya yang mengadu robotnya dirampas oleh temannya.

“Gue?! Mau apa lo?!” Jawab Sara berkacak pinggang, Sadam mendecak sebal, tak lagi menggubris Sara. 

“Yaudah sih, bodo amat!” Balas Sadam, Sara menginjak kaki Sadam. “Mandi sana, beresin nih kasur jangan lupa, awas lama lo! Gue tinggal entar!” Suruh Sara, mengingat kebiasaan Sadam yang sangat lama di kamar mandi.

“Bawel!” Bisik Sadam pelan yang samar – sama masih bisa di denger Sara.

“Apa lo bilang?!” Kesal Sara, pagi – pagi saja tensinya sudah naik tinggi menghadapi bocah pubertas seperti Sadam.

“APA?!” Balas Sadam dengan watadosnya, seolah tak mengatakan apa – apa.

“Gue belum budek ya?!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: