Bagian 13: “The End of Story Suka Sama Yang Virtual”

Bagian 13: “The End of Story Suka Sama Yang Virtual”

Ari Hardianah Harahap--

“Cukup jatuh cinta sama karakter fiksi sama manusia produk agensi aja yang virtual dan nggak bisa digapai, jangan sampai sama manusia yang nyata, apa nggak rugi waktu dan hati, sudahlah jatuh cinta setengah mati, taunya cuma sakit hati yang kamu temui”

-Arisa, korban baper ketikan-

>>>***<<<

Arisa sengaja tidak mengikuti kelas kuliahnya pagi ini, membiarkan huruf ‘a’ mengisi deretan kolom absennya, Arisa tidak sakit, tidak pula memiliki acara penting atau hal urgent yang membuatnya terpaksa membolos kelas. Ini murni keinginan dirinya sendiri, mengambil rehat sejenak dari peliknya drama romansa yang tiba – tiba mengambil delapan puluh lima persen akal pikirannya, menyisakan dua puluh lima persen logika yang membuatnya memilih menjauh sementara dari sumber masalah, Sundra.

Bubur ayam menjadi pilihan Arisa untuk mengisi perutnya pagi ini, untung saja Mang Ujang—pemilik gerobak bubur Ayam—di kompleknya masih buka, tadinya Arisa sudah pasrah jika tutup, mengingat sudah hampir jam sebelas siang dan dirinya baru memulai sarapan. Hidup di perantauan itu sulit bagi Arisa yang mencukupi kebutuhannya dengan biaya yang serba pas – pasan, dan salah satu jalan diantara yang ia pilih selain bekerja tanpa kenal lelah, Arisa harus bisa menekan rasa laparnya mati – matian dalam sehari, dan sarapan merangkap makan siang menjadi salah satu cara yang Arisa pilih demi menghemat rupiah di dompetnya.

“Jangan dibiasakan atuh Neng telat – telat makannya, uang mah bisa dicari, kalo kesehatan nggak ada yang namanya dua kali, sekali sakit, seumur hidup menanggung.” Arisa hanya mampu tersenyum sumir membalas nasehat dari Mang Ujang yang tiap kali ia membeli buburnya di hari menjelang siang.

“Iya Mang, sesekali doang ini.” Jawab Arisa, memberikan pecahan uang dua puluh rupiah pada Mas Ujang. Setelah menerima kembalian lima ribunya, Arisa beranjak meninggalkan gerobak bubur Mang Ujang, “Duluan ya, Mang.” Pamit Arisa.

Arisa menikmati waktu bolosnya dengan sebaik mungkin, selama perjalanan pulang setelah membeli bubur Mang Ujang, ia menyapa dan sedikit beramah tangga dengan tetangga yang masih satu komplek. Sesekali Arisa berhenti sebentar, guna menghirup udara, walau udaranya tidak sesegar udara di pagi hari. Atau, Arisa akan berhenti hanya untuk tertawa melihat anak – anak yang bertengkar, beradu siapa yang lebih dulu menyentuh dinding saat bermain petak umpet. Arisa bahkan meniti langkahnya dengan hati – hati, tiap langkahnya ia selaraskan dengan susunan paving block sepanjang komplek, mana tau langkah pelannya membawa ia pada uang segepok yang tak sengaja jatuh dari orang – orang tajir di kompleknya, mengingat Kawasan pemukimannya ini termasuk pemukiman elit yang diisi beberapa pengusaha dan pejabat pemerintah.

Semalam ku tahan, ku tahan semalam

Lama – lama rindu, tak mampu kutahan

Lagu dengan judul “Rindu semalam” yang di remix oleh DJ tanah air, mengaung keras. Untungnya sekitaran Arisa sepi, dengan tergopoh Arisa mengeluarkan ponselnya dari kantung celana trainingnya, jika saja ponselnya tidak bergetar, Arisa tidak akan tahu bahwa nada dering hapenya berubah, Suara khas Jaehyun, idol korea kesukaannya, berubah menjadi lagu jedag jedug yang setengah mati ia benci. Arisa tidak perlu mencurgai siapapun, karena satu – satunya yang bisa melakukannya, siapa lagi jika bukan, Sundra.

***

Arisa terududuk diam di dapur kos-annya, piring – piring kotor bertumpuk di wasteful, tatakan gelas dan piring di taruh sembarangan, Bau tumpukan sampah menguar dengan jelas, bahkan suara minyak panas yang habis terpakai masih berbunyi riuh, tanda sebelum dirinya ada orang lain yang lebih dulu memasuki dapur. Melihat kondisi dapur yang sudah layaknya kandang hewan tak terurus, nafsu makan Arisa menurun drastis. Ia urungkan niatnya untuk bertandang di dapur, menapaki lantai dua menuju kamarnya bersama bubur dan mangkuk serta gelas yang ia sempatkan untuk ambil sebelum pergi.

Kadang kala Arisa merasa toleransi itu menjadi hal yang sangat merepotkan, tentang mengapa ia harus menerima kondisi di dapur tadi mau tidak mau, padahal jika dipikir – pikir sudah selayaknya Arisa mengajukan protes pada setiap penghuni kos – kosannya yang bertugas membersihkan dapur hari ini. Atau mengapa Arisa harus diam dan menerima teman kamarnya yang begitu berisik di saat jam 4 subuh dengan suara barang berjatuhan yang seringkali mengganggu tidurnya. Namun, kenyataan pahit yang harus terima ialah Arisa terlahir sebagai manusia. Ada empati di dalam hatinya, ada simpati pada setiap tindak tanduk manusia yang ia temui, sama seperti ia yang sangat sering terlambat bangun pagi sehingga membuat ia membuat molor jam dimana ia harus menyapu teras dan halaman kos – kosannya. Mungkin sama seperti orang – orang yang bertanggung jawab membersihkan dapur hari ini, bisa jadi ada waktu dimana mereka tidak bisa meninggalkan hal itu. Lagipula, sesempurna apapun manusia, sekelilingnya pasti memberi toleransi walau enggan, karena mereka hanya punya satu sama lain untuk saling mengandalkan. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: