Bagian 14: “Coba Aja itu Kita”

Bagian 14: “Coba Aja itu Kita”

Ari Hardianah Harahap--

“Jangan bodoh untuk bertahan sama dia yang cuma memberika luka..tapi, ah, kita lupa yang namanya cinta kadang buta, tuli, menyerempet gila.”

-Zona, patah hati 2022

>>>***<<<

Zona menyinisi Arya sepanjang perjalanan pulang, walau tangan keduanya bergandengan mesra namun tidak dengan raut kedunya, satu dengan wajah pongah yang terpaksa terkesan marah, sedang satunya lagi dengan wajah tertekan dan raut menyebalkan. “Om! Bunciiisssss…” Suruh Zona, menarik kedua pipi Arya, sebab sejak mereka berjalan pulang dari bioskop Zona hanya mendapat raut ogah – ogahan dari wajah Arya.

“Buncis di pasar, kalo kamu mau buncis, naik ojek sana!” Suruh Arya enteng, yang langsung dibalas pukulan kuat dengan tas selempangnya oleh Zona. “Om, itu baru tas saya, jangan sampe heels yang lagi saya pake ini nancep ke kepala om!” Ujar Zona enteng, kali ini ia lepaskan gandengannya bersama Arya, persetan dengan kencan ala – ala yang ada dalam pikirannya, Zona hanya butuh angin malam, ketenangan dan Arya. Walau penyulut emosi Zona adalah Arya, disetiap tenangnya Zona juga butuh Arya.

Arya mendengus, membiarkan Zona memimpin jalan, dari belakang, Arya mengagumi Zona dengan sangat, bagaimana cara jalan perempuan itu, atau kunciran kudanya yang terayun ke kiri dan kanan, semuanya tampak pas dan sempurna, Zona itu tidak terlalu cantik, namun siapapun yang melihat Zona pasti sadar jika perempuan itu sangat manis, dan jika saja sifat bar – barnya sedikit dihilangkan mungkin Zona sudah terlihat sangat imut. Apapun Zona, Arya akan selalu menyukainya sebab Arya hanya butuh Zona.

Zona menghentikan langkahnya, menarik Arya untuk berdiri di sampingnya, menjajarkan langkah mereka, dan kembali menggenggam jemari Arya. Keduanya menikmati sepi dengan khidmat, tidak ada rasa canggung, karena seperti biasa, ini bukan pertama kalinya yang terjadi diantara mereka, bertingkah layaknya orang yang mencintai paling besar satu sama lain, namun ketika ditanya, kejelasan itu tidak pernah ada, selalu saja abu – abu. Tapi, bagi kedunya yang terjebak yang katanya Namanya cinta, ya sudah, selama mereka masih bisa bersama, tak apa terjebak untuk waktu yang lama, bahkan jika hal itu nantinya akan sia – sia.

“Kamu tau nggak sih lelahnya aku menunggu, ternyata sama – sama pun kadang nggak ngebuat manusia kayak aku puas ya?” Malam itu tinggalkan Zona yang kekanakan, kini ia jelma dirinya menjadi wanita dewasa yang tak pernah muncul di hadapan Arya, tidak ada candaan yang biasanya, layaknya dua orang dewasa yang begitu matang dari usia dan pengalaman, kedunya pantas untuk berbicara tentang apa saja, bahkan tentang mereka kini.

Arya tersenyum tipis. “Memangnya kamu berharap apa?” Hanya satu kalimat padahal, namun mengapa rasanya sangat sakit, hingga Zona merasa dadanya sesak, jauh di dalam sana, hatinya menjerit perih, bertanya – tanya, sebenarnya siapa dia bagi Arya, Zona mencintai sosok laki – laki itu sepenuh jiwa raganya, lalu mengapa Arya berkata seolah jika nanti, akan tiba, tanpa  aba – aba, Zona harus siap ditinggalkan kapan saja.

Mata Zona berkaca – kaca, langit Jakarta begitu sentimental, diantara bulir yang sebentar lagi akan jatuh dari mata Zona, langit lebih dulu mendahuluinya, mengantarkan rintik – rintik yang mungkin nantinya akan menjadi badai, porak poranda, Jakarta juga hatinya. “Ternyata berbicara layaknya orang dewasa juga nggak membuat langkah apapun diantara kita,” Ujar Zona, bulir air matannya lolos begitu saja, Arya merabanya pelan, menghapusnya lembut dengan ibu jarinya, merasakan bagiamana pipi merah itu kini basah.

Arya sama terlukanya, namun apa yang bisa ia katakan selain membungkam dirinya, jika ditanya apakah ia cinta? Jelas tentu saja, tidak ada ragu dalam dirinya dan hatinya. Namun, untuk kembali memastikan hanya Zona, Arya begitu bajingan, pasalnya ia seolah memainkan hati perempuan lugu itu sesukanya, menjadi Pelepas penatnya sesaat sebelum ia kembali merajut luka – lukanya.

“Aku pulang, jaga diri kamu baik – baik, jangan tidur kemaleman, entar lagi hujan.” Pamit Arya, namun sebelum ia benar – benar tinggalkan Zona sendiri, “Na, bertahan dan pergi itu pilihan kamu, bertahan kamu sama terlukanya, pergi kita sama terlukanya, keduanya sama – sama luka. Nggak ada yang pantas kamu perjuangkan dari aku, bahkan untuk genggaman kita yang biasanya.”

Diantara padatnya Jakarta, Arya pergi, ia tinggalkan Zona dengan hati penuh lukanya, dengan raga penuh laranya. Rasanya ia begitu murah, mengemis cinta pada Arya, padahal jauh diluar sana ia bisa mendapati seseorange lebih dari Arya. Namun, lagi – lagi hatinya egois, jika dirinya mau Arya, siapa yang bisa membantah? Semesta seolah menutupi lukanya, sengaja ia turunkan hujan sederas – derasanya, hingga air mata yang tadinya tumpah kini tertelan tiada. Dan pada jarak pandang dua meter, Zona harus menelan ludah, saat dua muda mudi itu tengah tertawa ria, menikmati hujan dan romansanya, membuat canda yang tak akan lekang oleh masa. Dengan begitu saja, banyak rasa iri yang ia pendam di hatinya.

“Arya…coba aja itu kita,” (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: