Bagian 6: “Kita Pulang Kemana?”

Bagian 6: “Kita Pulang Kemana?”

Ary--

“Kok susah banget ya mau jadi jendes kaya raya” – Zona

“Sekalipun cuma kamu satu – satunya perempuan di dunia, saya mah ogah, apalagi yang lain” – Arya

“memang sialan banget mulut om – om tua” – Zona

>>>***<<<

Arya tidak pernah menyangka jika akhirnya ia akan terjebak bersama Zona diantara banyaknya manusia, perempuan aneh, berandalan, dibawa umur pula. Bahkan disaat setengah jam lagi waktu menunjukkan pukul 00.00, bocah SMA itu masih betah duduk disampingnya dengan sebatang rokok milik Arya di mulutnya.

“Cil, pulang sana. Sekalipun saya tahu ortu kamu nggak peduli, saya juga nggak bisa tanggung jawab entar kalo anak gadis orang tiba – tiba hilang,” Ujar Arya, usiran secara halus. Arya ingin me time sejujurnya, menghabiskan dirinya dengan isi benaknya yang begitu kacau dan suara berisik di kepalanya. Menikmati rasa Lelah dan pusing itu sendirian.

“Ngapain om harus tanggung jawab, sekalipun saya dimutalasi entar sama orang, om bisa pura – pura nggak tahu kalo ternyata om jadi saksi mata saya dibunuh.” Semakin larut malam, semakin tidak jelas percakapan diantara mereka. Bahkan dinginnya malam tidak membuat mereka bergeming, seolah satu sama lain berjuang untuk bertahan menemani yang lainnya, padahal kedunya ingin pergi segera mungkin, entah kemana, asal itu dijadikan tempat layak untuk pulang.

Dering telpon di ponsel Zona memecahkan pikiran mereka yang berkelana jauh, Id caller dengan tulisan Lia terpampang jelas di sana. Ini kesekian kalinya, Lia menelpon setelah kepergian Zona yang tiba – tiba menghampiri Arya dan meninggalkan restoran begitu saja tanpa permisi, tidak ada tindakan yang dilakukan Zona selain menatap ponselnya dan membiarkan panggilan dari sahabatnya terlewat begitu saja.

“Dicariin kan? Pulang sana.” Suruh Arya, kini sebatangan nikotin ada diantara celah bibir Alya, turut menemani Zona dengan batang rokoknya yang sudah hampir habis. Zona mendengus menatap manusia tua menyebalkan yang sedari tadi sibuk mengecoh padanya untuk pulang, jika bisa, tanpa harus Arya suruh, Zona ingin pulang, lebih dari siapapun saat ini Zona ingin pulang.

“Saya mau pulang.” Kata Zona, hening sesaat sebelum ia melanjutkan perkataanya, “ke tempat yang layak untuk pulang, tempat yang layak untuk saya bilang itu rumah.” Terdengar nada getir di ujung kalimat Zona. Namun, sebisa mungkin ia sembunyikan.

Arya melirik Zona, perempuan itu tampak menemikmati sisa – sisa batang rokoknya, mengepul setiap asap dengan berbagai bentuk, layaknya seorang perokok yang telah lama. Rasa nikotin memang candu. Namun, untuk manusia sebelia Zona, Arya merasa iba jika masa muda perempuan itu hanya berputar tentang candu pada benda perusak paru – paru itu.

“keliatan muka – muka miskin kamu, wajar aja nggak punya rumah,” Alih – alih mengerti dengan Zona yang membutuhkan kalimat penenang, Arya malah menawarka sebuah permusahan dengan percikan api emosi dan kata – kata nyelekit miliknya. Zona melirik sinis Arya, kemudian menunjukkan jam ditangannya.

“Om jangan semena – mena dong sama saya, gini – gini saya juga punya rolex, memangnya Cuma om aja yang bisa!” Zona tidak pernah ingin pamer sedikitpun, walau kadang hatinya bergejolak ingin memberitahu seluruh manusia di bumi bahwa ia bisa memiliki apa yang mereka bisa, tapi Bersama Arya, Zona sering kehilangan kendali terhadap dirinya, pria tua disampingnya memang menyebalkan, namun disaat yang sama rasanya begitu lega, karena Zona tidak perlu menjadi orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi apa adanya.

Arya melirik sedikit, kemudia memutar bola matanya, “Paling kalo nggak seken ya kw,” Komentar Arya yang langsung dibalas Zona dengan tendangan di tulang keringnya.

“Om nggak liat tampang – tampang saya ini tampang tampang orang berduit.” Kesal Zona, Arya memusatkan perhatiannya pada wajah Zona, menatap wajah Zona dengan seksama dengan raut wajah yang sangat serius.

“Katanya berduit, rokok sebatang aja minta.” Zona dibuat mati kutu, wajahnya memerah malu, ia kipasi wajahnya dengan tangan, “panas banget sumpah!” Komentar Zona menatap Arya. Diam – diam Arya mengulum senyum, berusaha menyembunyikan tawanya melihat Zona yang layaknya ulat uget – uget salah tingkah.

“wajar, soalnya saya barusan selesai baca alfatihah.” Zona tidak bisa tidak ingin melayangkan tinju pada Arya. Namun, mengingat pria ini bisa saja membalasnya, Zona hanya dapat bergerak seolah – olah ia tengah mencekik Arya.

“Om pikir saya setan?!” Kesal Zona.

“Memangnya saya bilang?” Balas Arya

“Tapi disini cuma ada kita?!”

“Selain miskin, jelek, ternyata kamu juga buta ya?”

“Maksud om apa? Bertumbuklah kita!”

Arya tidak membalas perkataan Zona, menunjuk gerombolan orang yang ada di belakang Zona, sekumpulan anak muda yang sama halnya dengan Zona, bercumbu dengan batang nikotin dan mungkin juga beberapa alkohol, Arya tidak tahu pasti, namun banyak kemungikan tebakannya benar bukan?

Zona yang sudah malu, semakin malu. Apakah sudah saatnya ia harus menenggelamkan diri dari dunia ini? Mumpung Zona tengah ada dijembatan, ia tinggal melompat saja dan menghilang dari hadapan Arya.

“Dahlah pengen jadi batu aja, capek jadi manusia.” Ujar Zona dengan wajah cemberut yang dibalas Arya dengan raut jijik ingin muntah.

“Kenapa nggak jadi hewan, udah cocok banget malah!” Dan dengan sukarela Zona mengigit lengan Arya kuat, Arya meringis dan berteriak sakit.

“ARGHH….SAKIT BOCIL!” Kesal Arya, matanya mendelik sebal, “tuh kan apa saya bilang udah cocok banget jadi hewan, alamih melindungi diri dengan gigitan!” Lanjut Arya dengan mata melotot keluar. Sembari menatap lengannya yang kini tengah ada bekas gigitan Zona, Arya pergi meninggalkan Zona.

Zona yang sadar mau ditinggalkan segera berlari menuju tempat Arya, “om saya numpang, angkut saya, belum mau jadi gelandangan saya.” Teriak Zona yang tidak Arya hiraukan.

“Ayo saya kasih tumpangan, biar saya antar kerumah.” Jawab Arya.

“Om tau rumah saya?” Tanya Zona, Arya menggeleng.

“Capat pilih, mau kepantia asuhan atau kolong jembatan?” tanya Arya yang dibalas Zona dengan raut tercengan, “tapi kata saya mending ke panti asuhan sih, setidaknya mereka mendidik dan mencarikan orang tua yang layak sama setiap anak!” Lanjut Arya acuh, diam – diam Arya terkekah. Menghitung dari 1 sampai tiga di dalam hatinya, menunggu umpatan apa lagi yang akan diberikan Zona untuknnya.

“dasar sialan!” Teriak Zona. Tuh, kan, baru beberapa detik Arya bilang, sudah jadi kenyataan.

Zona – Zona! (bersambung)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: