Bagian 5: “Kita, Hollywing dan Rasa Gundah”

Bagian 5: “Kita, Hollywing dan Rasa Gundah”

Ary--

“Om tau apa yang ngebuat saya selalu tertarik sama Om?” -  Zona

“Apa?” – Arya

“Saya selalu penasaran, entah pada siapa, saya selalu ngerasa kalo Om orang yang sama, entah itu pada cerita, bahkan entah itu pada ia yang saya lupa.” – Zona

>>>***<<<

Arya kembali memutuskan untuk berlibur selama dua hari di bandung sebelum pulang ke Jakarta, tidak ada agenda khusus yang sengaja ia rencanakan selama tinggal dibandung, mungkin jika adapun ia berharap dapat kembali bertemu dengan bocah perempuan tengik yang sudah mencuri dua foto polaroid dari dompetnya. Sebenarnya, Arya lebih ikhlas jika perempuan itu mengambil uang tunai atau kartu kreditnya, sebab foto itu yang ia simpan di dompetnya itu hanya satu, barang yang sudah dua tahun lalu ia temui dan ia jaga setengah mati, kini harus hilang keberadaanya hanya karena bocah SMA.

Arya akhirnya memutuskan tempat tujuannya untuk menghabiskan malam, Hollywing. Tempat yang menawarkan pengalaman unik melalui beer house, lounge, dan klub malam yang dikemas secara professional ini memiliki daya tarik tersendiri bagi Arya. Sejauh ini, tempat ini yang Arya beri bintang lima sebaga tempat ia menikmati kesendiriannya, siapapun yang hadir disini, tidak peduli dirimu kaya atau miskin, gelandangan atau tidak, tidak akan ada yang peduli, benar – benar mendefiniskan mind your own business. Lagipula, dibanding bar lainnya, hanya tempat ini yang menurut Arya minim cabe – cabean dengan bad-drunk-habbits, dan live music yang diadakan juga cukup enak didenger sembari menyesap Sababay Reserve Red miliknya.

Arya menikmati setiap lagu yang silih berganti, sesekali lirik yang terdengar mampu menyindirnya habis – habisan, entah itu tentang kisah romansanya, keluarganya, kehidupan sosialnya, banyak yang membuat Arya terus saja merasa kecil diantara manusia lainnya. Arya mengasihinasi dirinya sendiri, diantaranya banyaknya rencana yang ingin ia lakukan, tidak ada satupun yang dapat ia gapai dengan sempurna, bahkan tidak seujung jaripun, semuanya hancur berantakan, bahkan tentang Aji, adiknya. Padahal sudah dua tahun lamanya, namun luka itu tak pernah kunjung usai dari hatinya.

Arya mengambil ponsel yang ada didalam sakunya, bersamaan dengan rokok berbungkus putih dengan rasa menthol, jika dulu Arya adalah orang yang paling menentang keluarganya untuk mengisap nikotin, kini Arya bahkan lebih mencandui benda tersebut. Asap mulai memenuhi sekitarnya, sebenanrnya Arya tidak terlalu pandai dalam menghisap benda panjang ini, nafasnya terasa sesak. Namun, bag Arya itu jauh lebih baik, dibanding saat ia merasa sesak tanpa tahu alasan apa yang membuat hatinya dan tubuhnya begitu terasa runyam.

Diantara semrawut pikirannya, Arya menekan nomor yang sudah sangat ia hafal di luar kepalanya, dulu saat nada sambung terdengar, Arya akan mencebik kesal, sebab alih – alih sebuah sapaan, Arya hanya akan mendengar keluhan yang tiada habis dari sang empu di seberang telepon. Kini, Arya bahkan tidak tahu akankah nada sambung itu masih dapat terdengar atau tidak, Arya menekan nada panggil, serentetan angka dan huruf dilayar ponselnya harus ia tatap dengan tatapan nanar dan senyum miris, nada operator yang amat jelas berdengung di telinganya. Padahal ini bukan pertama kalinya bagi Arya, hanya saja itu masih sama sakitnya, saat keluhan itu tidak ada lagi untuknya, malam ini, sejujurnya Arya rindu pada pemilik suara di seberang sana.

“Harusnya, kamu jangan pernah janji sama Mas, kalo akhirnya kamu cuma buat Mas susah lupa,”

***

Zona tersenyum senang, menyantap Chicken Wings Spicy miliknya, dan lebih nikmat lagi saat makanan dihadapanny ini gratis. C’mon, senikmat nikmatnya makanan di dunia ini, bagi Zona tidak ada yang lebih nikmat dari makanan yang tersemati dengan kata gratis.

“Sumpah, malu gue bawa lo!” Ujar Lia, mengomentari Zona dan cara makannya dengan sinis, sahabatnya itu sudah seperti gelandangan yang tidak makan tiga hari, padahal selama menjadi beban Lia, Zona makan dengan teratur, tiga kali sehari dengan porsi jumbo, dan jangan lupakan camilan Lia yang Zona habiskan. Zona benar – benar definis dari manusia rakus, menurut Lia.

“First I want to say thank’s to you. However, here even if you are a homeless person who suddenly became rich who just touched the name of the world, no one will care, so...mind your own business.” Jawab Zona, mengedipkan matanya pada Lia yang dibalas Lia dengan dengusan, “Manusia nggak tau diri!”

“Ayolah, Lia. Lo gitu banget sama gue, kan gue udah bilang gue tu gondes kalo tempat ginian.” Bujuk Zona, mengambil tisu membersihkan tangan dan mulutnya,  “Lo jadi ngajak gue pulang atau nggak? Nanti gue keburu diculik ama om – om nih. Bukannya jadi jendes kaya raya yang ada gua malah jadi simpanan tua – tua Bangka.” Ujar Zona yang dibalas Lia dengan gelengan kepala, tidak habis pikir dengan sahabatnya itu, “Untuk cewek sedater triplek kayak lo, bahkan kalo gue yang jadi tua – tua Bangka itu, gue nggak minat.” Cemooh Lia yang dibalas Zona dengan tatapan tercengang, “tega lo!” Balas Zona.

Lia mendengus, “Bodo amat, tunggu disini, gue mau bayar bill dulu.” Zona mengangguk, menatap kepergian Lia, “Salah apa hidup gue sampe punya sahabat begajulan kayak Lia.” Komentar Zona…eung…sepertinya sematan ‘manusia tidak tahu diri’ yang diberikan Lia pada Zona, benar adanya.

Selama menunggu Lia, Zona mengamati sekitarnya, di ujung ruangan, Zona dapat melihat Om Tua menyebalkan yang mengisi kepalanya akhir – akhir ini. Wajah itu tampan semrawut menatap ponselnya, sesekali Zona dapat menangkap raut frutasi dan nanar dalam waktu yang singkat, atau senyuman miris mendekati sinis terpahat di dua belah bibir tipis itu. Ada waktu dimana, Zona merasa sangat familiar dengan dengan sosok yang sampai sekarang Zona tak tahu namanya itu. Rasanya ada seseorang yang Zona liat sangat mirip, atau seseorang dalam cerita yang perawakannya hampir sama, Zona tak tahu, hanya saja perasaan aneh itu selalu ia rasakan.

Zona tidak tahu sejak kapan kakinya melangkah dan kini sudah berhadap dengan wajah om tua menyebalakan itu, dan Zona tidak tahu, sejak kapan mulutnya sangat lancar untuk menggoda seseorang.

“Om, nama saya Mandala Naim, panggilannya Zona. Kata sahabat saya si Lia, saya itu Zona tanpa batas, tapi kalo untuk Om, saya bisa jadi Zona nyaman buat Om. Yuk, gagal move on-nya sama saya aja!” Dan malam itu detak jantung Zona bertalu lebih cepat dari biasanya, dan entah sejak kapan Zona menyukai sisi centil yang ada dalam dirinya, dan satu diantara banyaknya jurus serta usaha yang keluarkan, Zona menyukai kedipan matanya, hanya karena saat itu, Zona dapat mendengar tawa. Tawa yang rasanya sangat sama, entah pada siapa. (bersambung)

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: