Extra Chapter Simpang Lima Kota Cinta: “Enza dan Tiga Anabul”

Extra Chapter Simpang Lima Kota Cinta: “Enza dan Tiga Anabul”

Ary--

Ada dimana Enza hanya terus merenungi harinya, tidak melakukan apapun selain berbaring dikamar Aji selama seharian, seperti saat ini yang ia lakukan. Kepergian Aji memberikan perubahan yang sangat banyak pada Enza, tentang hari – harinya, kebiasaannya, dan waktu tidurnya.


yamaha--

Dulu, jika Aji ada, Enza tidak akan pernah melewatkan jam tidur malamnya, tidurnya akan selalu tepat waktu jika Aji tidak datang dan membawa seluruh dongeng dari pejuru dunia, untuk didengarkan oleh Enza. Hari – hari Enza terasa semakin dingin, entah itu pada Mama ataupun Mas Arya, Enza terus mendapati keterdiaman yang lama dalam dirinya. Bukan berarti Enza tidak menyangi keluarganya, hanya saja kehilangan Aji tidak mudah untuknya, sulit merubah kebiasaan yang menjadi setengah dunianya, setengah jiwanya.

“Cheng menerut lo bang Aji bahagia nggak sih disana? Atau bang Aji lagi kesiksa, diakan banyak dosa, terutama sama gue dengan mama.” Enza membukan percakapannya dengan tiga buntalan lemak yang bergelung mencari kehangatan dibawahnya, jika saja Aji tidak mencintai tiga beban dirumah ini dengan sepenuh jiwa raganya, Enza pastikan ia yang akan membuang tiga kucing tidak tau diri ini ke rawa – rawa.

“Gue kangen abang, pengen ketemu. Tapi, belum siap mati juga gue. Iya kalo benar nemu, kalo nggak gimana?” Enza kembali mengutarakan pikiran absurdnya pada tiga kucing yang mendengkur itu, tidak ada yang menjawab Enza selain hela nafasnya sendiri. Enza menatap tiga anabul yang menempel seperti lintah itu dibadannya, kemudia menggeram kesal sebab diabaikan begitu saja. Dengan tega, Enza membuang tiga kucing bekas milik Aji itu kelantai kasur dengan kasar.

“MEONG!!” Ketiganya kompak mengeong terkejut, rambut dibadan mereka menegak seiring dengan postur terkejut mereka dan ekor yang mengangkat tinggi, kecualikan si Cat yang sudah menatapnya dengan sinis. Bahkan Enza dapat menangkap sinyal bahaya untuknya, melihat Cat yang sudah siap dengan delapan cakarnya. Cat mengeong, mungkin jika Enza artikan, sekiranya  seperti ini artinya.

“Jurus Cakar – Cakaran Kucan ala Cat!” Teriak Cat, Cata berlari dan mencakar Enza brutal, tidak peduli sekalipun itu wajah tampan Enza yang selalu kagumi, jika seperti ini Cat lebih senang memiliki majikan seperti Aji, walau Aji jelek menurutnya, hanya laki – laki itu yang sangat mengerti dirinya, tidak peduli jika ia hanya menyusahkan Aji setiap harinya, pup sembarangan, mencakar barang – barang mahal milik Aji, hingga menusuk LCD leptop Aji yang membuat pria itu hampir bunuh diri karena didalam leptonya terdapat tugas semester akhirnya yang ia kerjakan selama tiga bulan dengan mata panda, Aji tetap mencintainya, begitu apa adanya. Semakin lama, pikiran tentang majikan lamanya itu memenuhi benak Cat, membuat mata Cat berkaca – kaca, ia urungkan seluruh serangannya terhadap Enza, dan menepi ke jendela kamar Aji, menatap bulan da mengeong lirih.

Enza dengan nafas ngos – ngosan, rambut berantakan dan beberapa bekas cakaran di pergelangan tangannya, cengo dengan kelakukan kucing – kucing milik abangnya itu. Sesaat mereka brutalnya mengalahkan kucing hamil, sesaat kemudian sudah jadi kucing galau yang ditinggal kawin saja. Enza merapikan rambutnya, menatap kedua kucing yang tersisa di sisinya, Kocheng dan Ncing, turut bergabung dan duduk menepi bersama mereka menatap Cat. “Itu si Cat ngapain?” Bisik Enza bertanya.

Kocheng dan Ncing menatap Enza dengan tatapan yang juga sudah berkaca – kaca, menggaruk rambutnya yang tidak gatal dengan raut super bingung, “Lo semua jangan tiba – tiba labil dong, kan gue nggak paham cara menghibur kucing!” Kesal Enza, Kocheng manaruh salah satu kakinya dan mengeong lirih, sama lirihnya dengan meongat Cat yang masih bersuara menatap bulan, dan entah sejak kapan Ncing sudah bergabung mengeong lirih dengan Cat di jendela.

“Kita rindu bang Aji, meong.” Ujar Kocheng, Enza turut bersedih, jika sudah namanya rindu, Enza bisa apa. Toh, dia juga rindu, namun serindu apapun dia, Enza tak bisa melakukan apa – apa, selain terus mendoakan abangnya itu baik – baik saja di perbedaan semesta mereka, mungkin foto – foto lama Aji bisa mengobati rindunya, namun itu tidak selalu sempurna, karena disaat yang sama saat melihatnya, Enza merasa sakit yang telah lalu.

Kochengn turut bergabung dengan Ncing dan Cat di jendela, turut mengeong lirih bersama teman – tema sepermajikannya. Tidak ada yang tidak rindu jika itu tentang Aji, manusia itu terlalu istemewa untuk dilupakan, dan terlalu banyak kenangan dinatara mereka. Suara mengeong mereka bersahut – sahutan sama lain, layaknya nyanyain sedih tentang duka, rindu dan sebuah kehilangan yang tak pernah akan usai. Mendengar dan melihat kucing – kucing Aji seperti itu membuat Enza turut bersedih, ia rapatkan dirinya bersama seluruh kucing Aji dan turut menangis.

“Gue juga rindu abang, bukan kalian aja” Bisik Enza Rindu. Disana mereka yang ia ingin ada, menatap mereka dengan gelangan kepala, tersenyum sumir tidak habis pikir dengan kelakuan si bungsu keluarga mereka.

“Enza, Enza. Kamu tu udah gede juga, masih ada – ada aja kelakukannya.” Bisik orang tersebut, sayangnya tidak didenger oleh sang empu yang dimaksud, “Abang juga rindu, bukan kalian aja.” Lanjutnya kemudian sebelum pergi, menyisakan angin, satu manusia, dan tiga kucing yang tengah meratapi malam sendu mereka. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: