Bagian 26: “Tanpa Aji, Rumah Chandra Sepi”

Bagian 26: “Tanpa Aji, Rumah Chandra Sepi”

Ary--

Bagian 26: “Tanpa Aji, Rumah Chandra Sepi”

Hari-hari kujalani harap ada yang bermakna

Kembalikanlah senyumku yang pergi

Secepat seperti di lahirkan lagi

Tiada yang meminta seperti ini

Tapi menurutku tuhan itu baik

Merangkai ceritaku sehebat ini

Tetap menunggu dengan hati yang lapang

Bertahan dalam macamnya alur hidup

Sampai bisa tiba bertemu cahaya

-Feby Putri, Usik.

֍♠♠♠♠֍

“Dintara luka pasti ada tawa, diantara duka pasti ada suka, diantara tangis pasti ada bahagia. Pelan – pelan, semuanya pasti punya tanggal mainnya, sebagia manusia, kita cuma bisa mersakan, asyiknya bermain dengan takdir, lucunya beradu dengan semesta, tunggu saja kita pasti punya akhir yang sama menyenangkannya. Pelan – pelan, kita pulih sama – sama, untuk waktu yang lebih berharga”

-Simpang lima kota Cinta, (The End)

>>>***<<<

Mama lagi – lagi menjadi orang pertama yang menghentikan tangisnya diantara Enza dan Mas Arya, kali ini Rumah terasa lebih sepi, sebab sang perusuh sudah kembali ke peraduan. Mama pernah bepikir diantara keluarganya, mengapa harus Aji dan suaminya yang pergi lebih dulu. Saat duka menghampiri kapten Chandra, Aji menjadi pengisi kekosongan hati mama tentang sosok suaminya itu, cara Aji mencintai Jingga, mirip dengan cara suaminya mencintai. Cara mereka tertawa begitu sama persis, bahkan humor mereka saja begitu mirip. Mama tertawa pelan, jika dipikir – pikir kembali anaknya nomor dua itu bagai pinang dibelah dua dengan suaminya. Dan saat keduanya tak disini, dimana Mama akan menemukan mereka? Setitik air mata mama jatuh namun segera ia hapus secepat mungkin. Berdiri di belakang dapur seperti biasanya, memasak seolah mereka tidak pernah mendengar kabar kehilangan.

Mama melirik jam, sudah jam enam sebentar lagi anak – anaknya pasti akan segera bangun. Biasanya Aji yang menjadi orang pertama untuk bangun, disusul Enza kemudian anak sulungnya. Rumah ini akan pasti ramai lagi, secepat mungkin Mama akan membuat tawa senantiasa ada di rumah ini. Mama menghitung dari satu sampai sepuluh, kebiasaanya tak pernah luput ia lakukan, menunggu anak – anaknya turun untuk merecokinya. Dan yang paling lucu lagi, Mama akan melihat wajah anak – anaknya yang setengah niat memakan masakannya. Mama bukannya sengaja, namun takdir seolah membuat masakannya selalu tidak enak, padahal Mama sudah bekerja sangat keras. Namun, saat melihat anak – anaknya makan dengan lahap terutama Aji, rasanya Mama baik – baik saja.

“Sembilan”

Hitung Mama dalam hatinya, tidak ada suara langkah kaki dari anak tangga. Tidak ada teriakan selamat pagi, tidak ada ejekan untuknnya, tidak ada opera sabun murahan yang biasa Mama lakoni hanya untuk seseorang, ternyata benar – benar tiada. Ternyata merubah kebisaan itu cukup sulit, Mama menghela nafas pelan, tersenyum getir, ia paksakan dirinya untuk terus terlihat baik – baik saja. Mama menitikkan air matanya, kali ini sulit rasanya untuk tidak menangis.

“Sepuluh”

“Mama,”

Mama tidak berbalik, ia biarkan tangisnya pecah, air matanya turun. Suara itu bukan suara yang Mama harapkan, bukan suara Aji yang ia dengar. Mama menghapus air matanya cepat – cepat, “Iya sayang, kenapa?” tanya Mama, matanya sedikit bengkak dan wajahnya memerah basah, hatinya terluka, namun demi anaknya Mama mengulas senyu terbaiknya. Siapapun yang melihat Mama pasti tahu, perempuan itu sehabis menangis.

Mama melihat Enza turut mengulas senyum, menampakkan giginya yang baru ia sikat dengan sekuat tenaga agar putihnya tidak menghalahkan warna putih guci porselen Mama di ruang tamu. “Mama jelek banget habis nangis, kayak Adek dong. Liat Adek baru sikat gigi pake odol baru, putih kan gigi adek!” Pamer Enza masih menunjukka gigi – giginya. Ia ambil susu miliknya dan meminumnya, “Sebenarnya adek ada baca, kalo kita baiknya makan dan minum dua jam setelah sikat gigi, tapi adek lapar, ya udah makan sekarang aja.” Tidak seperti biasanya, Enza lebih banyak mengoceh hari ini, topiknya pun ngalor – ngidul, dari merk barang – barang dikamar mandinya, protesan tentang barang – barangnya yang berwarna pink, hingga farfumnya yang berbau seperti nenek – nenek.

“Terus kamu pake parfum siapa?” Tanya Mama mengendus tubuh Enza, Mama benar – benar menghargai usaha Enza untuk menghidupkan suasana, anak bungsunya itu bukan tipe yang suka berbicara, namun kali ini Mama seolah melihat Enza yang lain. Enza mendekat ke arah Mama, melihat sekitar dan kemudian berbisik, “Sebenarnya, Enza ke kamar Mas Arya tadi, terus nyobain Parfum mas Arya sedikit, dikit segini.” Jelas Enza mendekatkan ibu jari dan jari telunjukkan, menunjukkan seberapa dikit ia gunakan parfum Mas-nya itu.

Dibelakang Enza, Mas Arya berdiri menyimak sedari tadi, Mas Arya menaruh telunjuknya di bibirnya, mengisyaratkan Mama untuk diam. Hingga saat mendengar Enza menggunakan parfumnya, disitulah Mas Arya ingin sekali menampol kepla adiknya itu, apanya yang sedikit jika saat Arya ingin menggunkan parfumnya itu, botolnya sudah tinggal berisi angin. Mas Arya menggeplak Enza dari belakang.

“Apanya yang sedikit kalo sebotol habis!” Ujar Mas Arya melotot, Enza mengusap kepala belakangnya meringis sakit, “Mas! Jangan pukul kepala dong! Kalo Enza bego gimana?!” Protes Enza.

“Memangnya kamu pinter?!” Tanya Mas Arya ikutan ngegas.

“Menurut Mas aja!”

“Nggak tuh, bego menyerempet idiot yang ada!”

“Kalo yang gitu tu bang Aj—” Enza yang menyadari kalimatnya segera berhenti sesaat, Mama dan Mas Arya hanya tersenyum kecil, ada tatapan sedih dan nanar yang dapat Enza tangkap sekilas, namun kemudian keduanya seolah tidak terperngaruh.

“Kalo si Aji mah gila dia tuh, bukan bego lagi!” Sambung Mas Arya cepat, Mama tertawa, “Mama juga heran, bisa – bisanya Aji tuh geser – geser gitu dapatnya yang cantik kaya Jingga.” Lanjut Mama.

“Mama kayak nggak pernah jatuh cinta aja!” Komentar Enza, “Cinta itu buta dan tuli~~” Kompak Mas Arya dan Enza. Mama tertawa, untuk sesaat rindunya pada Aji terobati.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh, sudah saatnya Enza berangkat. Enza memasukkan bekalnya, kali ini tidak ada protes tentang tempat makannya yang berwarna pink.

“Enza uang jajannya ambil di meja ruang tamu ya, mama selalu naroh disitu.” Suruh Mama yang sibuk dengan cucian piringnya, “Iya,” Jawab Enza, bergerak ke arah ruang tamu. Ada dua uang saku disana, uangnya dan uang Aji. Pantas saja Abangnya itu selalu memegang uang sakunya, pasti Abangnya mengambil uang itu saat Mama menaruhnya seperti ini. Enza menatap kursi makan yang tidak berpindah posisi sejak mereka bangun, biasanya Enza akan melihat Aji dengan wajah tengilnya, menyuruhnya untuk melakukan tiga hal konyol agar ia diberikan uang saku. Dulu ia merutukinya, sekarang mengapa rasanya ia ingin sekali melakukannya.

“Enza sayang abang,” Ujar Enza pelan, menghadap kursi kosong itu, Mama dibelakangnya tersenyum pedih, sedang Mas Arya sembunyi di pintu depan, menatap langit juga dengan wajah muram.

“Enza,” Panggil Mama, Enza segera mengulas senyum ceria, ia salim tangan Mama, “Enza pergi.” Ujar Enza. Namun sebelum benar – benar pergi, Enza memberikan sebuah foto untuk Mama, “Kata Bang Aji, diambil foto itu buat Mama. Biar Mama tahu kalo masih ada tiga saudara yang terdiri dari manusia kaku itu Enza, manusia ganteng itu Bang Aji, dan Manusia nggak laku laku itu Mas Arya. Cuma belum sempat dicetak, jadi Adek cetakin. Bang Aji juga pernah bilang gini ke adek Ma, kehilangan itu sedih sesaat, jadi nggak baik kalo terus berlarut – larut dan nangis. Kata Bang Aji, nangis boleh tapi ketawanya jangan lupa, kalo yang namanya cinta sejati, ada nggak ada manusianya, cinta itu bakal tetap utuh. Biasanya Enza bakal bilang gini ke bang Aji, tapi hari ini Bang Aji nggak ada. Jadi…Enza sayang Mama,” Enza memeluk Mama kemudian pergi, dan melambai pelan pada Mama.

Mama menatap foto itu, tangisnya kembali pecah, kali ini isakannya ia biarkan habis, untuk tawa yang akan selalu ada, biarkan tangis mengisinya lebih dulu. Ada Aji, rumah keluarga Candhra gila, tanpa Aji, rumah keluarga Chandra sepi. Sesepi manusia – manusia yang kini berpura – pura tersenyum padahal luka mereka begitu dalam.

Mas Arya menatap Enza, “Kapan adek abang bisa sedewasa ini?” Tanya Mas Arya.

Enza tertawa, merangkul Mas Arya, “Melownya udah dulu bang, Enza kudu sekolah!” Mau tak Mau Arya turut tertawa.

.

.

.

“Ji, bahagia disana ya. Disini juga bahagia, pelan – pelan kita semua pasti pulih. Iyakan Ji?” – Mas Arya

“Abangg… Enza rindu. Rasanya aneh nggak ada abang. Abang yang bahagia biar Enza juga bahagia!” – Enza, Adek abang yang paling ganteng hehe

“Aji, anak Mama. Tungguin kita bareng lagi, lalu ayo ulang semuanya dari awal lagi, sukanya, dukanya, kita buat sama – sama.”- Mama. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: