Bagian 20: “Cinta Teken Hutang”

Bagian 20: “Cinta Teken Hutang”

Ary--

Now the day bleeds

Into nightfall

And you're not here

To get me through it all

I let my guard down

And then you pulled the rug

I was getting kinda used to being someone you love

-Lewis Capaldi, Someone You Loved

֍♠♠♠♠֍

“Pokoknya jangan cinta – cintaan kalo nggak mau sakit, soalnya cinta itu sepaket sama sakit. Kalo kamu cinta berarti kamu siap sakit.”

-Enza anti romantic 2022

>>>***<<<

Aji pernah dengar, katanya manusia itu makhluk paling penuh tipu muslihat, kadang – kadang dari luar seseorang tampak sangat mampu dipercayai, ternyata dia pengkhianat paling dicari. Kadang – kadang pula, ada manusia yang sangat sangar, dinilai dari tampang seolah dia adalah manusia yang paling tidak memiliki budi pekerti, padahal jika diusut lebih lama, ternyata ia preman berhati Hello Kitty. Aji tidak pernah tahu siapa Jingga sesungguhnya, Bagi Aji, Jingga itu pelengkap hidupnya, pokoknya kalo mengutip dari catatan – catatan instagram yang pernah Aji baca, Jingga dan dirinya itu bak sepasang bintang dan bulan dilangit yang sama, berpendar dan terang dengan cara mereka masing – masing, menjadi sempurna saat mereka utuh bersama.

Kata Rena, sahabat Jingga. Kekasihnya itu sebenarnya Medusa yang berkedok menjadi Malaikat baik Hati. Sedangkan kata Sakul, Jingga itu anjing, brengsek, bajingan. Sebenarnya, saat mendengar Sakul mengatakan itu ingin sekali Aji berikan bogeman mentah pada sahabat sehidup semati titik nggak pakai komanya itu, sayangnya Aji juga harus mengerti alasan Sakul mengatakan Jingga seperti itu, walau dalam hati, jiwa dan raganya Aji memberontak, bahwa hal itu tidak sepantasnya untuk dibenarkan.

“Ngomong gitu lagi, gue robek tu mulut sampah lo!” Ancam Aji, yang dibalas misuh – misuh oleh Sakul. Aji bukannya tidak pernah tau rasanya sakit hati. Dibanding Sakul, rasanya Aji lebih berpengalaman tentang merasakan rasa sakit hati. Beneren sakit cuy, coba deh lo bayangin, nggak ada luka, nggak ada darah, tapi perih. Mau nangis salah, nggak nangis lebih salah. Mau marah nggak tau ke siapa, nggak marah emosi makin meradang. Serba salah mah namanya kalo udah sakit hati.

Aji memetik gitaranya sembarang, menghasilnya genjrengan dengan suara sumbang, belum lagi raut nelangsa di wajah Aji. kalo diliat – liat sudah tidak beda jauh dengan bapak – bapak yang mikirin beban rumah tangga, padahal nikah saja belom. Mas Arya hanya mendengus melihat Aji yang tengah terpuruk dalam kegalauannya sedang Enza menikmati susu hangatnya tak jauh dari mereka, tengah bermanja – manja bersama Mama.

“Abang itu kenapa sih?” Tanya Mama akhirnya penasaran, Aji dan raut nelangsa itu sama sekali tidak cocok. Rasanya aneh saja melihat manusia paling durhaka seperti Aji memberi jeda ketengan untuk Mama, yang biasanya menjadi sasaran empuk kejahilannya.

“Tobat kayanya, Ma. Mungkin udah kena karma gitu ya jadi anak durhaka,” Jawab Mas Arya santai sambil menyemil cilok yang ia beli saat lewat di depan rumahnya tadi. Mama memeloti Mas Arya, memukul pundak Mas Arya. Tidak kuat, tapi cukup membuat Mas Arya menggeliat perih.

“Sakit, Ma!” Rintih Mas Arya, mencebik terhadap Mama. Mama menarik hidung Arya, “Makanya ngomong itu jangan sembarangan, durhaka gitu ke mama bukan ke kamu. Adeknya gitu dihibur dong, Mas!” Omel Mama.

Mas Arya menatap Mama tidak terima, “Aji durhaka, Ma. Sama Arya!” Protes Mas Arya, “Mama nggak ingat siapa yang udah matahin pena yang sengaja Arya bawa dari Singapura waktu itu, itu pena limited edition, Ma. Terus yang waktu ulang tahun Mas Arya, Aji sengaja ngasih kecoa mainan di kue ultah Mas Arya, sampe kita semua muntah! Yang namanya Setiaji Archandra nggak mungkin nggak durhaka!” Lanjut Mas Arya menggebu – gebu, nafasnya terengah – engah, berdebat bersama Mama terutama dengan topik bahasan adiknya Setiaji tentu tidak ada gunanya. Namun, Mas Arya seolah tidak ingin mau kalah.

Mama mendengus, “ Biar begitu tetap anak Mama, tetap adek kamu?! Memangnya kamu mau apa hah?!” Pekik Mama, Arya langsung kicep mengunci mulut, menangkupkan kedua tangannya di depan Mama, isyarat minta maaf dengan cengiran halus kemudian melanjutkan mengemil ciloknya dengan tenang.

Enza yang sedari tadi diam dekat dengan Mama akhirnya beranjak, menyadari pergerakan Enza, Mama menatap Enza dengan raut bertanya, walau Mama tak mengatakan langsung, Enza dapat mengerti dengan cepat maksud Mama.

“Mau sama abang.” Tiga kata singkat dari Enza yang langsung diangguki oleh Mama. Ada satu kebiasan Enza yang sangat dihafal oleh anggota keluarga Chandra dan itu semua masih berkaitan dengan Aji. Sudah seringkali bukan Enza beritahu, Aji itu seperti mataharinya. Jadi, jika Aji badmood maka mood Enza sama buruknya. Namun, jika Aji ceria dan belingsatan luar biasa seperti biasanya maka Enza sama saja, namun Enza hanya lebih kalem, istilahnya tu kalo diajak ya udah, nggak diajak juga gapapa. Nggak maksa, Nggak nge-request juga.

Enza menaruh kepalanya diatas paha Aji, memeluk perut abangnya itu, bersiap untuk tidur. Aji menatap Enza jengkel, “Minggir cil, gue lagi nggak mood. Kebas nih kaki gue entar.” Setelah sekian lama, akhirnya raut nelangsa Aji berubah, dan keterdiamannya sedari tadi akhirnya pecah. Mama menatap sekilas begitupula dengan Mas Arya, tidak berniat melerai Enza dan Aji.

“Sama, adek ngantuk.” Enza jarang memanggil dirinya sendiri dengan adek, biasanya Enza akan memanggil dirinya dengan nama atau kata ganti seperti, aku, gue, dan apapun itu selain adek. Kata ganti Adek dia gunakan saat dia benar – bener butuh seseorang menjadi tempat sandarannya dan saat dia ingin sekali menjadi bungsu yang senang bermanja – manja. Enza merapatkan tubunya, memeluk Aji lebih erat. Sebenarnya Aji geli dengan sikap clingy Enza, tapi biar bagaimanapun Aji juga tidak tega untuk mengusir adiknya itu. Akhirnya Aji hanya mengusap surai Enza.

“Kenapa lo Cil? Ditolak sama gebeten lo ya?” Tanya Aji, Mama dan Mas Arya terbelalak mendengarnya, “Lah kapan si bungsu punya gebeten anjir, kok baru dengar gue?!” Tanya Mas Arya terkejut. Mama mencubit dan memelintir perut Mas Arya kuat. “Mas Languange!” Kesal Mama yang dibalas peace oleh Mas Arya.

“Sembarangan! Percaya sama Bang Aji menduakan tuhan!” Protes Enza dengan suara yang tenggelam di perut Aji. Mama menatap Aji meminta kepastian, begitupula dengan Mas Arya. Aji hanya terkekeh, kemudian mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.

“Adek kalo beneren juga nggak apa – apa kok, Mama nggak marah. Tapi ajakin ke rumah ya, biar mama kenal dan tahu orangnya,” Ujar Mama lembut, Enza menggeleng, berbalik menghadap Mama.

“Mama coba deh liat muka abang,” Suruh Enza yang dipatuhi oleh Mama, “memangnya ada ya tampang – tampang abang itu tampang manusia yang bisa dipercaya, manusia kayak abang hidupnya sebagai pendusta doang gitu mau aja percaya.” Lanjut Enza, setelahnya kembali berbalik, memeluk perut Aji dan memposisikan diri senyam mungkin. Aji ingin sekali menggeplak kepala adiknya itu, namun urung sebab Mas Arya dan Mama.

“Sekate – kate lo aja bocil, tak pites nih entar!” Sahut Aji, Mama dan Mas Arya kompak mendengus.

“Nggak salah, ada benernya juga sih Enza. Lo kan tampang – tampang kaum pendusta nan durhaka. Iya nggak Ma?” Tanya Arya pada Mama, yang diangguki setuju oleh Mama, “Bener, Aji nggak durhaka sehari rasanya kayak nggak hidup.” Jawab Mama. Aji menjatuhkan rahangnya.

“Ini bisa nggak sih resign dari keluarga Chandra, nggak kuat hayati!” Keluh Aji.

Enza berucap pelan, “Abang lagi galau karena Mbak Jingga ya, padahal cinta sama cinta, sama – sama kemakan gengsi aja.”

“Tau apa lo sih Cil?!” Kesal Aji menatap Enza nyalang, Enza yang ditatap bodo amat.

“Taulah! Abang lagi insecure buat sama – sama dengan Mbak Jingga. Padahal Mbak Jingga senang banget sama abang. Abang tu nggak perlu jadi siapa – siapa buat jadi orang yang spesial dimata Mbak Jingga, cukup jadi abang Aji yang biasa Adek, Mas dan Mama kenal. Abang pernah nonton nggak film india itu, lupa judulnya, cinta itu tanpa syarat, kalo bersyarat namanya perjanjian, atau…..” jeda sesaat sebelum Enza kembali melanjutkan kalimatnya, “Teken hutang mungkin?” dan jelas tiga kata terakhir Enza mengundang gelak tawa seisi rumah.

“Jadi Cuma gara – gara nggak pede sama Jingga ya bang? Widih, anak mama udah gede ternyata, udah merasa insecure mau jalan sama cewek.” Ejek Mama, Arya ikut – ikutan menyahut.

“Yuk sadar dirinya makin dibanyakin, satan sama aphrodite memang nggak pernah cocok kalo disandingin.” Ujar Mas Arya terpingkal – pingkal.

Enza memeluk Aji, matanya kini hampir terpejam, “Abang yang bilang ke adek, untuk menjadi manusia yang dicintai, kita nggak perlu jadi manusia yang sempurna. Karena cinta nggak pernah mandang siapapun dan diukur dari apapun, selama rasa itu dari hati, kita nggak perlu ngekhawatirin apa – apa. Iya kan bang?” Tanya Enza, Aji terkekeh mendenger pernyataan Enza, mengangguk pelan, kembali mengusap rambut Enza agar adiknya itu tertidur.

Mas Arya merangkul bahu Aji, menyigkirkan gitar yang ada samping Aji agar keduanya tidak berjarak, Mas Arya menyandarkan kepalanya di bahu Aji, “Gue juga ngantuk, jadi pinjam bahu lo bentar. Ji, dikasih organ tubuh lengkap gitu kudu digunain bukan disia – sian, buat apa punya hati tapi nggak dipake buat ngerasain, buat apa punya mulut tapi nggak dipake buat ngomong. Lo nggak bisa nebak – nebak apa yang ada di kepala dan hati manusia, jadi kalo lo nggak bisa tahu jawabannya dari orang lain, bertanya sama yang dituju itu nggak salah walau nanti rasanya sakit luar biasa. Karena diam tanpa bisa apa – apa juga sama nggak ada akhirnya.” Setelahnya Mas Arya benar – benar memejamkan matanya tertidur di bahu Aji.

Mama terkekeh, beranjak dari duduknya, “Mama mau tidur dikamar aja, yang kuat ya itu badannya bang semoga nggak kebas dan kesemutan,” Ujar Mama pelan sambil tertawa. Sebelum benar – benar meninggalkan Aji, Mama mengusap pipi Aji lembut, “Anak mama sudah dewasa, sudah tau harus apa, iya kan abang?” Setelahnya Mama meninggalkan Aji dengan pikirannya.

Aji tersenyum kecut namun bahagia, ia tak dapat mendiskripkan perasaannya. Namun hal ini terasa seperti lega, kelurganya mendukungnya walau resiko luka perihal bertanya jauh lebih banyak dibanding pulang dengan hati yang masih baik – baik saja. Setidaknya jika ia gagal, berkubang dalam rasa sakitnya hanya sebentar, namun terjebak hampa dalam waktu yang lama, sama ruginya, dan sama tidak enaknya. (bersambung)

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: