Bagian 5: “Hadir yang (semoga) Kembali”

Bagian 5: “Hadir yang (semoga) Kembali”

--

“Gapapa, tarik nafas dulu, diemin dulu, entar kalo udah step by step pelan – pelan aja, entar kalo udah kalah baru deh mampusin ampe mampus!”

-Agana (Remaja (Sabar) dendam hari ini)

***

AGANA menautkan jemarinya, tidak enak dengan laki – laki jangkung di hadapannya, sungguh Agana sangat malu, padahal Agana sudah mempersiapkan dirinya untuk dimaki – maki, namun laki – laki dihadapannya ini malah tak bergeming, bertahan dengan raut wajah dingin dan nada datarnya.

“Gue minta maaf,” Ujar Agana merasa bersalah menunduk dalam pada laki – laki yang berusaha memperbaiki rantai sepeda yang tak sengaja ia buat lepas.

“Jaya, makasih udah balikin sepedanya,”

Agana mengangkat kepalanya menatap laki - laki yang barusan mengenalkan diri tersebut dengan nama Jaya tersebut tersenyum puas menatap hasil pekerjaanya, rantai sepedanya kembali terpasang.

“Nggak usah merasa bersalah banget, sepedanya emang udah tua, wajar kalo rantainya sering lepas,” Jelas Jaya lagi yang diangguki oleh Agana cepat.

“Sekali lagi gue minta maaf udah pake sepeda lo tanpa izin,” Ujar Agana merasa bersalah, Jaya tersenyum kecil menangguk.

“Semoga kedepannya nggak ada lagi, cukup gue.” Ujar Jaya, Agana tersenyum walau sedikit masam, tau maksud Jaya yang menyindirinya halus. “Ini yang terkahir, setelahnya nggak akan ada lagi.” Ujar Agana mantap yang dibalas Jaya dengan anggukan dan senyuman semangat.

Agana dan Jaya berjalan beriringan, hanya sampai menuju terminal yang berjarak lebih kurang lima ratus meter dari sudut jalan. Agana dan Jaya tampak akrab dengan obrolan yang tercipta diantara mereka.

“Kenapa lo nggak marah? Padahal gue udah siap di maki – maki,” Tanya Agana menatap Jaya. Hening sesaat sebelum akhirnya Jaya menjawab, “Kenapa gue harus marah? Sepeda gue balik dan gue bisa pulang dengan tenang, nggak ada yang perlu dikhawatirin, dan gue merasa lega. Marah – marah cuma bakal buang tenaga.”

“Gimana seandainya sepedanya nggak balik? Lo tetap nggak bakal marah?”

Jaya mengangguk, “Gue kesal, buka karena sepedanya yang udah dicuri tapi pulang sekolah nanti gue harus dengerin ocehan Kak Rena tentang betapa berharganya sepeda butut ini buat dia, tentang kenanagan dia dengan Benjonong, tentang masa mudanya dan Benjonong. Gue capek, sebenarnya lucu sih dengerin dia, tapi kakak gue itu super alay banget, belum cerita aja gue udah enek,” jelas Jaya terkekeh pelan, pasti saat ini Rena tengah bersin – bersin sebab dibicarakan olehnya.

“kalo lo yang ada di posisi gue? Gimana?” Tanya Jaya balik pada Agana. Agana berpikir sesaat mengerutkan kedua dahinya, tampak lucu di mata Jaya, “Sebelum gue ngerasain, gue nggak tau,”

Jaya menangguk membalas Agana, “Lo tau gue bukan orang yang suka mengibaratkan diri gue dengan sesuatu yang nggak pasti hasilnya. Kayak sekarang, gue belum pernah tau rasanya dicuri, dibanding menerka – nerka lebih baik gue ngerasain langsung.” Jelas Agana.

“Berarti lo pengen dicuri?”

Agana menggeleng, “itu sama kayak lo ada di ujung jurang yang kalo lo mundur ada harimau, kalo lo maju, lo jatuh. Gue nggak berharap di curi, selama ini belum ada pencurian gue Alhamdulillah, kalo ada berarti ya udah naas, kedepannya gue mungkin belajar lebih hati – hati.”

“Lo nggak akan marah dan nyesal?” Tanya Jaya lagi, Agana memutar bola matanya, ternyata laki – laki di hadapannya ini cukup cerewet.

“Lo sendiri kenapa bisa nggak marah?” Agana membalikkan pertanyaan. Jaya tersenyum, “manusia punya alasan buat ngelakuin itu, yang gue liat salah belum tentu benar – benar salah. Simpel itu doang kok alasannya.”

“Giliran lo yang ngejawab.” Ujar Jaya, “Gue nggak akan pernah menyesali tindakan yang gue ambil, setiap gue ambil tindakan berarti gue udah siap dengan segala resiko dan ketentuannya. Itu tanggung jawab yang ngebuat gue merasa menjadi manusia seutuhnya sampai kini. Jadi, gue menyamartakan kalo orang – orang bakal punya pikiran yang sama kayak gue,”

Mereka sampai di depan terminal, ramai sudah orang – orang yang berdesakan, Agana tersenyum sumir, rasanya seperti hidup melihat bagaimana ragamnya manusia di sekitarnya. Dari mereka, Agana banyak belajar tentang hidup dan rasa bersyukur. Agana menatap Jaya dengan senyuman termanis yang ia punya, “Makasih udah nemenin gue sampe sini,”

Jaya hanya menangguk sebagai balasan sembari menaiki sepedanya, Agana dan Jaya siap berpisah, namun sebelum Jaya pergi Agana masih dapat mendengar suara kecil Jaya, “Ayo ketemu lagi, dalam keadaan lebih layak dari ini,”

Agana tidak membalas apapun, hanya lambaian tangan yang ia berikan, seolah ia tak mendengar apa yang dikatakan Jaya. Untuk pertama kalinya, Agana bertemu manusia seunik Jaya, bagaimana cara laki – laki itu berpikir selalu membuat Agana menatap dengan sudut yang amat berbeda. Andai saja bisa, Agana ingin menahan Jaya lebih lama, berbicara tentang betapa berisiknya kepala ini, bertanya banyak hal tentang segalanya yang belum ia temukan jawabannya hingga kini. Namun waktu lebih cepat menjemput dan Agana tak bisa menahannya lebih lama lagi.

“Semoga saja,” bisik Agana pelan entah pada siapa,

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: