Krisis KPK, Bayangan Negara Gagal

Krisis KPK, Bayangan Negara Gagal

 oleh

JOKO WAHYONO*

TAK henti-hentinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disudutkan pada krisis. Beberapa pekan lalu Polri menarik 20 penyidiknya yang ditugaskan di KPK. Ini merupakan salah satu penarikan penyidik terbesar sepanjang sejarah sejak lembaga antikorupsi tersebut berdiri. Seperti ramai diberitakan, penarikan penyidik Polri berkaitan dengan masa tugasnya di KPK yang telah berakhir. Namun, alasan yang dikemukakan pihak Polri adalah paradoks terhadap semangat pemberantasan korupsi. Di tengah medan peperangan melawan korupsi yang membutuhkan energi extra ordinary, sumber daya manusia (penyidik) justru dikurangi. Wajar jika fakta paradoksal ini memunculkan beragam analisis publik.

Penarikan sejumlah penyidik Polri ini sarat dengan nuansa politis. Tak ada yang menyangkal bahwa upaya recall tersebut adalah buntut silang sengketa penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri beberapa bulan lalu.

Kini manuver pengkrisisan KPK datang dari Komisi III DPR. Mereka berencana merevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Meski suara anggota komisi III masih terbelah dalam pro dan kontra, draf usul revisi UU KPK telah sampai ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejumlah usul ditengarai dapat melemahkan KPK. Misalnya, penyadapan

yang diperumit dengan izin ketua pengadilan negeri, penuntutan yang diserahkan kepada kejaksaan agung, dan adanya wewenang KPK mengeluarkan SP3, plus ada dewan pengawas yang ditunjuk DPR. Tampaknya, ada keinginan beramai-ramai untuk mengamputasi kinerja KPK.

Tanda Tak Meyakinkan

Beberapa upaya bentuk pelemahan kinerja KPK ini semakin meneguhkan bahwa sikap elite politik tidak konsisten dalam memberantas korupsi. Jihad para penyelenggara negara untuk memutus spiral-spiral korupsi di negeri ini minus komitmen. Tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan (convincing sign) adanya penguatan keberadaan KPK. Mereka tidak punya inisiasi serius untuk menguatkan komitmen formal dalam memerangi korupsi melalui KPK. Sebaliknya, jarak antara komitmen formal dan pilihan tindakan kekuasaan dalam menangani akutnya korupsi semakin menganga. Komitmen formal melalui injeksi sumber daya yang kredibel dan penguatan kewenangan serta kelembagaan KPK melalui regulasi absen. Lalu bagaimana komitmen aksi mereka untuk memastikan bahwa orkestra pemberantasan korupsi benar-benar berjalan konkret? Kewenangan KPK mestinya diperluas, anggaran didukung, dan mekanisme operasional pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diefektifkan melalui pembentukan perwakilan KPK di daerah-daerah. Yang terjadi, para penyelenggara negara (Polri dan DPR) justru lebih mengedepankan ego sektoral masing-masing.

Penarikan penyidik Polri dan revisi UU KPK saat ini tidak kondusif di tengah korupsi yang semakin marak dan keadilan yang tak kunjung tegak. Publik bisa membandingkannya dengan lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong. Jumlah seluruh pegawai Independent Commission Against Corruption of Hongkong (ICAC) 5.000 orang dengan penyidik hampir 3.000 orang. Padahal, ukuran Hongkong sangat kecil. Sementara KPK di negeri berpenduduk 230 juta ini hanya memiliki penyidik tak kurang dari 100 orang. Ini bisa menjadi tolok ukur bagi keberadaan KPK untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Meski bersifat ad hoc dan emergency, kontribusi KPK dalam memberantas korupsi telah menyentuh wilayah birokrasi yang selama ini tak tersentuh, seperti partai politik, lembaga eksekutif, yudikatif, hingga lembaga legislatif atau DPR itu sendiri.

Tinggallah Ilusi

KPK boleh dikatakan adalah satusatunya lembaga yang masih tepercaya dalam hal pemberantasan korupsi. Namun, jika sumber daya manusia didefisitkan dan beberapa kewenangan KPK dipangkas, sudah dapat dipastikan korupsi akan semakin merajalela.Sejarah bangsa tidak akan pernah berjalan menuju masa depan yang gilang gemilang, tetapi tersaruk-saruk di gelimang korupsi tak tersentuh. Lebih ekstrem lagi, upaya melemahkan institusi para pemburu koruptor ini semakin mengonfirmasi hasil survei lembaga Fund for Peace AS beberapa waktu lalu yang menempatkan Indonesia berada di tubir negara gagal (failed states). Pasalnya, KPK merupakan manifestasi demokrasi dan tuntutan Reformasi 1998. Keberadaan KPK makin penting, karena kepolisian dan kejaksaan belum juga pulih dari impotensi terhadap korupsi. Sementara, menurut Noam Chomsky (2006), salah satu karakter utama negara gagal adalah jika negara sudah tidak memiliki kemauan dan kemampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi demokrasi, seperti KPK.

Demikian pula Michael Johnston (2005) telah mengingatkan bahwa korupsi melemahkan negara karena menggerogoti institusi sosial politik yang notabene menjadi tiang negara. Karena itu, pengkrisisan KPK akan menjadi sumber petaka yang melanggengkan praktik-praktik korupsi. Adanya gejala pengkrisisan melalui sumber daya manusia dan revisi UU KPK untuk memereteli kewenangan KPK, maka semangat pemerintahan SBY yang getol menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bisa tinggal ilusi.

*) Peneliti pada Center for Indonesian Political Studies (CIPS) Jogjakarta

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: