MK dan Putusan Kredit Macet
Oleh :
AHMAD ERANI YUSTIKA
DI antara kita mungkin masih ingat nama Steve Hanke, ekonom kontroversial yang sempat hadir saat-saat genting dalam sejarah perekonomian nasional pada 1997-1998. Pada momen itu Hanke mengusulkan penggunaan sistem nilai tukar tetap (fixed ex change rate) untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia. Pada puncak krisis itu nilai
tukar rupiah sempat menembus Rp 20.000 per US dolar. Hanke menyarankan pemerintah mematok Rp 5.000 per US dolar agar ekonomi berhenti mengalami pendarahan.
Namun, gagasan Hanke itu segera dikeroyok para teknokrat karena dianggap lelucon di tengah situasi cadangan devisa yang amat terbatas. Tapi, ada satu pikiran Hanke lain yang layak dikutip. Dia mengatakan (2008): ”Sejarah militer ditulis oleh sang pemenang. Sejarah ekonomi ditulis, sebagian besar, oleh para bankir, para bankir bank sentral. Dalam kedua peristiwa tersebut Anda harus membaca catatan resminya tanpa memercayainya mentah-mentah.”
Moralitas dan Rasionalitas
Mahkamah Konstitusi (MK) pekan lalu mengambil keputusan ekonomi yang penting, yaitu menyangkut operasi usaha milik negara/BUMN. MK mengeluarkan putusan terkait uji materi pasal 4, 8, dan 12 ayat (1) UU No 49/1960 tentang PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Keputusan itu substansinya menyatakan bahwa PUPN
tidak lagi berwenang menagih piutang badan usaha milik negara (BUMN). MK berpendapat BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari keuangan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utangpiutang BUMN, tunduk kepada UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT). Dalam konteks bank BUMN, putusan MK secara otomatis memberikan hak kepada bank untuk menghapusbukukan (write-off) piutang yang tak mungkin (sulit) ditagih.
Di sinilah pernyataan Hanke di atas ada benarnya, bahwa sejarah ekonomi sebagian besar ditulis oleh para bankir, termasuk bankir bank sentral. Betul bahwa putusan itu diambil oleh institusi hukum (MK), namun upaya tersebut diinisiasi oleh para bankir yang merasa bank BUMN diberi perlakuan berbeda daripada bank swasta. Jika piutang tak dapat ditagih dan membebani neraca bank, manuver bank untuk mengembangkan usaha menjadi terbatas.
Kasus itu sebetulnya miniatur dari debat abadi dalam teori ilmu ekonomi, yakni pertarungan antara moralitas dan rasionalitas ekonomi. Moralitas ekonomi melihat kebijakan
dan kegiatan ekonomi, menurut Rüstow (1961), harus ditempatkan sebagai pelayan atas ”nilai-nilai yang melampaui ekonomi” (values beyond the economy), yaitu sesuatu yang spiritnya melayani kehormatan manusia (human dignity). Inilah yang sejatinya menjadi tujuan hakiki ekonomi (Ulrich, 2008). Pemikiran Rüstow ini sejalan
dengan gagasan Walter Eucken, Franz Böhm, dan Wilhelm Röpke, yang kemudian menjadi dasar lahirnya Ordoliberal di Jerman (sebagai rahim yang dari ekonomi pasar sosial). Sebaliknya, rasionalitas ekonomi meletakkan kalkulasi efisiensi, fleksibilitas, dan kepraktisan ekonomi sebagai sumber pengambilan keputusan
dan aktivitas ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: