Kembalinya Presiden Kita

Kembalinya Presiden Kita

SETELAH ”dicari” lewat seruan ”Ke mana Presiden Kita (KPK)?” oleh para aktivis antikorupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono muncul juga di hadapan rakyat Indonesia. Pidatonya cukup mengesankan. Ada solusi yang menapak pada akal sehat dan perasaan banyak orang yang cinta kebenaran dan keadilan. Pidato tadi malam seperti melihat kembalinya seorang pemimpin pemberantasan korupsi.

Kembalinya presiden kita (singkatanya KPK juga). Patut digarisbawahi, Presiden SBY kali ini tegas bersikap terhadap Polri. Perintahnya untuk menyerahkan penyidikan korupsi simulator SIM ke KPK sangat melegakan. Begitu pula pendapatnya tentang tindakan polisi untuk menangkap Kompol Novel Baswedan. Dengan disebut oleh presiden ”tidak tepat waktu dan tidak tepat cara”, sebaiknya persoalan ini diredakan. Semoga Novel bisa bekerja lagi karena perwira yang cerdas ini andalan KPK.

Kebijakan lain tentang keputusan untuk menetapkan waktu empat tahun dan bisa diperpanjang bagi penyidik Polri di KPK juga melegakan.

Keputusan yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah ini diharapkan menjadi obat kuat KPK. Selain itu, pengalaman minimal empat tahun sebagai penyidik KPK akan memberikan jam terbang cukup apabila kelak kembali ke Polri. Tetapi, kalau memang kerasan di KPK, juga diberikan peluang.

Kejadian tetap bertahannya 28 penyidik dari Polri di KPK sebaiknya juga menjadi bahan evaluasi di Polri. Mengapa para perwira terbaik yang berkompeten dalam pemberantasan korupsi itu tidak mau melanjutkan karir di kepolisian? Apakah ini karena kultur pemberantasan korupsi yang tegas dan adil tidak berkembang di kepolisian? Memang anggapan bahwa kasus korupsi di kepolisian bisa diatur, juga tutup mata terhadap korupsi yang melibatkan anggotanya, masih kental.

Polri juga belum menunjukkan gelagat yang kuat untuk berbenah.

Kalau memang mau serius memberantas korupsi dan menegakkan hukum, masih banyak kasus besar yang disingkirkan di bawah karpet. Salah satu contoh yang tidak lekang dari ingatan, yang jadi simbol kecurigaan dugaan korupsi di tubuh pembesar kepolisian, adalah kasus 17 rekening gendut. Meski Kapolri mengatakan rekening itu tidak bermasalah, tetapi ketika diperintahkan dibuka oleh Komisi Informasi Publik (KIP), Polri tetap menolak. Sangat jelas solidaritas korps mengalahkan tugas utama sebagai penegak hukum.

Publik terus mencatat sikap bhayangkara negara ini terhadap penegakan hukum yang berkeadilan. Bukan kali ini Polri mem-bully KPK. Kasus cicak versus buaya ketika zaman Kapolri Hendarso Danuri (didukung Jaksa Agung Hendarman Supandji) bakal abadi dalam sejarah. Seperti terperosok di lubang yang sama, kali ini terjadi lagi di zaman Kapolri Timur Pradopo (kali ini tidak didukung Jaksa Agung Basrief Arif ). Perlu digarisbawahi, dua upaya itu gagal karena KPK

dibela akal sehat publik yang tidak bisa dibodohi. KPK juga harus berbenah. Penting didengar juga kritik presiden soal mudahnya membawa persoalan ke media massa. Ini mungkin memang dilema. Sebab, pembela utama KPK adalah publik. Mestinya, presiden juga ikut mengawasi agar jangan sampai institusi yang dibawah kendalinya mem-bully KPK. Ayo KPK, kembali ke rel. Tuntaskan kasus korupsi simulator SIM, juga kasus-kasus lain tanpa pandang bulu, tanpa pandang pangkat di pundak. Jangan sia-siakan kepercayaan publik. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: