Jokowi Versus HBA
Oleh: Bahren Nurdin, SS., MA
Pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta agaknya bolehlah kita sebut sebuah fenomena politik tanah air. Sebuah perhelatan pemilihan kepala daerah yang banyak mengundang perhatian dan ‘kejutan-kejutan’ di dunia persilatan perebutan tahta, menjadi orang yang sangat penting di Ibu Kota Republik ini. Saya sebut fenomena karena ada beberapa ‘kejadian’ politis di luar nalar politik itu sendiri, ditambah lagi demam ‘kotak-kotak’ yang merebak ke seluruh tanah air. Awalnya, ada begitu banyak orang yang pesimis atas invansi politik Joko Widodo (Jokowi) dari Solo menuju Jakarta. Tapi faktanya, pesimisme itu terbantahkan atas menangnya yang berpasangan dengan Ahok pada putaran pertama dan kedua.
Para pengamat politik pun sibuk berceloteh. Diantara celotehan itu adalah bahwa masyarakat Indonesia semakin cerdas dan dewasa dalam berpolitik. Partai politik tidak lagi efektif menjadi mesin politik. Partai sudah tidak dipercaya oleh pengikutnya. Masyarakat sudah muak dengan pemimpin ‘high class’, dan lain sebagainya. Apa pun analisis itu tentu boleh-boleh saja dan mungkin juga benar. Tapi yang penting untuk dicermati adalah hukum sebab-akibat (kausalitas) dari kejadian ini. Jokowi menang itu hanyalah akibat. Yang kita cari adalah penyebabnya. Terlepas dari analisis politik yang telah nanar kita dengar di berbagai media, satu hal yang penting adalah Jokowi jelmaan rakyat yang menjadi pemimpin. Bukan pemimpin yang (mencoba) menjadi rakyat. Maknanya, Jokowi tetap menjadi rakyat walaupun beliau dipercaya untuk memimpin.
Lantas apa hubungan semua ini dengan keberlangsungan tahta gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA)? Ini adalah hubungan psikologi politik. Saya ingin mengembalikan ingatan masyarakat Jambi atas jalan panjang yang ditempuh HBA untuk sampai di puncak kekuasaan BH 1 hingga tahun 2015 mendatang. HBA adalah politisi yang menapak karir politik dari seorang birokrat tulen. Bermula dari menjadi staff rendahan dengan golongan dua hingga kini bertahta. Telah banyak jabatan birokrasi yang beliau duduki hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Jambi. Terlepas dari kepiawaian dan kemahfuman beliau dibidang birokrasi, beliau adalah orang yang dekat dan sangat paham juga mengerti rakyatnya.
Saya ingin mengatakan, jalan yang ditempuh HBA untuk menjadi Gubernur Provinsi Jambi lebih dan kurang sama dengan apa yang dilakukan oleh Jokowi, dengan waktu dan konteks yang berbeda. Satu kekuatan yang mengentarkan kedua tokoh ini adalah kedekatan mereka kepada masyarakat. Beliau berdua adalah salah satu masyarakat (biasa) yang dipecaya menjadi pemimpin.
Lihatlah tack record HBA sewaktu menjabat sebagai camat, sekda, dan, terakhir sebelum menjadi gubernur, Bupati Sarolangun. HBA benar-benar dekat dengan masyarakat yang beliau pimpin. Program-program yang dibuat murni untuk kepentingan rakyat. Bahkan dalam berbagai kesempatan HBA mengatakan bahwa beliau telah berjalan ke seluruh pelosok Provinsi Jambi sebelum kemudian menjadi Gubernur. HBA bahkan hapal angka-angka masyarakat miskin di negeri sepucuk Jambi Sembilan lurah ini.
Sebagai peringatan kecil dari masyarakat kepada pemimpinnya. Secara psikologis, kemenangan Jokowi masih sangat berpengaruh terhadap pemilihan kepala daerah mendatang termasuk Pemilihan Gubernur tahun 2015. Yakinlah, masyarakat tidak peduli partai dan tim sukses. Tidak juga money politic. Saya ingin mengatakan bahwa jika HBA masih menginginkan melanjutkan kepemimpinan Provinsi Jambi setelah 2015 mendatang, maka HBA harus ingat bahwa bukan partai dan tim sukses yang harus diambil hatinya, tapi masyarakat. HBA, kembalilah ke pangkuan rakyat! Semoga.
*Dosen IAIN STS Jambi dan Kepala Pusat Studi Humaniora
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: