>

Bea Cukai Evaluasi FTZ Batam

Bea Cukai  Evaluasi FTZ Batam

JAKARTA - Niat pemerintah menjadikan Batam sebagai free trade zone (FTZ) atau zona perdagangan bebas, justru berbuah pahit. Wilayah ini kini justru banyak digunakan untuk aksi-aksi penyelundupan.

                Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono mengatakan, zona bebas perdagangan bebas di Batam sudah terbukti menjadi salah satu pintu masuk utama masuknya barang impor ilegal ke Indonesia. “Karena itu, kami akan mengevaluasi pelaksanaan FTZ di Batam,” ujarnya kemarin (29/11).

                Sebagaimana diketahui, pada Januari 2009, lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) meresmikan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) di Kepulauan Riau. Tujuannya, agar tiga kawasan tersebut bisa menjadi pintu gerbang bagi masuknya investasi asing.

                Presiden SBY juga berharap agar ketiga lokasi ini dapat berfungsi sebagai sentral pengembangan industri sarat teknologi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke seluruh wilayah Indonesia serta negara lain, dan menjadi pusat pelayanan lalu lintas kapal internasional.

                Namun, pada kenyataannya, luasnya cakupan FTZ serta keterbatasan aparat bea cukai membuat aksi penyelundupan barang impor ilegal marak di wilayah ini, terutama Batam. Bakhkan, yang terbaru, penyelundupan dilakukan melalui kapal penumpang (bukan kontainer). “Ini sudah ke tiga kalinya yang tertangkap,” kata Agung.

                Hal itu mengacu pada keberhasilan aparat bea cukai menangkap KM Kelud, kapal penumpang yang mengangkut barang ilegal karena tanpa disertai dokumen perijinan. Isinya pun beragam, mulai dari alat-alat kesehatan dan laboratorium, alat telekomunikasi dan elektronik, produk garmen dan alas kaki, hingga bahan peledak. “Ini sangat membahayakan penumpang, apalagi ada bahan peledak juga,” ucapnya.

                Selain berbahaya, aksi penyelundupan tersebut juga merugikan negara karena hilangnya potensi penerimaan dari bea masuk maupun pajak. Dari KM Kelud saja, barang selundupan diperkirakan bernilai lebih dari Rp 500 miliar. “Kerugian negara bisa sampai Rp 100 miliar,” ujarnya.

                Sebenarnya, dugaan mengenai maraknya aksi penyelundupan melalui Batam sudah sering disampaikan. Misalnya, pada 2010 lalu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengeluhkan banyaknya barang ilegal yang beredar di pasar domestik, sehingga menjatuhkan produk-produk dalam negeri.

                Upaya pengawasan ketat di FTZ Batam, Bintan, dan Karimun memang tidak mudah. Sebab, di kawasan ini terdapat lebih dari 40 pelabuhan liar yang sulit diawasi. Upaya kerjasama Bea Cukai dengan TNI Angkatan Laut (Al) pun juga belum efektif menangkal upaya penyelundupan.

(owi)

 

                

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: