Realisasi Pajak Masih 80 Persen
Industri Terpukul Krisis
JAKARTA - Resesi yang masih membekap perekonomian global mulai terasa dampaknya di Indonesia. Sektor pajak yang selama ini banyak mengandalkan setoran dari perusahaan tambang dan ekspor pun merasakan imbas negatifnya.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengatakan, turunnya harga komoditas di pasar internasional akibat resesi global membuat kinerja perusahaan tambang atau perusahaan berorientasi ekspor ikut melemah. “Sektor bisnis yang selama ini menjadi kontributor besar penerimaan pajak terpukul,” ujarnya kemarin (4/12).
Menurut Fuad, dalam kondisi normal, kinerja pajak yang berbanding lurus dengan kinerja sektor industri, biasanya akan merangkak naik pada semester II. Namun, kondisi krisis membuat tren itu berbalik. “Sebab, semester ke dua ini (2012), ekonomi dunia melemah,” katanya.
Karena itu, realisasi setoran pajak pun tidak menunjukkan peningkatan signifikan pada periode semester II tahun ini. Misalnya, sepanjang semester I 2012, realisasi pajak tercatat sebesar Rp 387,6 triliun atau 45 persen dari target yang dipatok dalam APBN-P 2012 sebesar Rp 885,02 triliun.
Pada semester II, hingga 23 November 2012, penerimaan pajak baru mencapai 80,1 persen atau Rp 708,89 triliun. Artinya, sepanjang hampir lima bulan, penerimaan hanya bertambah sekitar 35 persen.
Lalu, bagaimana proyeksi hingga akhir tahun? Fuad pun seperti kehilangan optimisme untuk bisa mencapai 100 persen target. Menurut dia, target realistis yang bisa dipatok saat ini adalah mencapai 97 persen target penerimaan pajak atau sama dengan realisasi tahun 2011. “Minimal sama dengan itu,” ucapnya.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan memangkas libur aparat pajak, terutama yang menjadi ujung tombak di lapangan atau yang langsung berhubungan dengan wajib pajak. “Jadi, Hari Sabtu tidak ada libur selama Desember ini,” ujarnya.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menambahkan, pelemahan ekonomi global memang menjadi tantangan utama bagi sektor pajak. Namun demikian, ada potensi tambahan penerimaan dari pos Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini karena tingkat konsumsi rumah tangga yang masih cukup tinggi. “Jadi, kita harapkan PPN ini bisa menutup kekurangan (dari sektor pertambangan),” katanya.
(owi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: