Lumpuh Bisa Dihindari

Lumpuh Bisa Dihindari

Lumpuh setelah serangan stroke kini bisa dihindari. Berbagai alternatif terapi ditawarkan untuk mempertahankan kemandirian pasien. Menurut spesialis kedokteran fisik rehabilitasi medis dr Hasan Wijaya SpKFR, salah satu terapi yang bisa digunakan pasien pasca serangan stroke adalah terapi neuromuscular electrical

stimulation (NMES).

Fungsi terapi itu ialah melancarkan pasien stroke menelan. Berdasar data Poli Fisioterapis RSK St Vincentius a Paulo (RKZ), mulai pengadaan mesin untuk terapi NMES Juni 2012 hingga Januari ini, sekitar 54 kunjungan pasien memanfaatkan terapi tersebut.

’’Dominasi memang digunakan oleh pasien setelah serangan stroke,’’ ungkap Hasan.

Dokter yang menempuh pendidikan spesialis di RSUD dr Soetomo-FK Unair itu juga menjelaskan, komplikasi stroke bisa menyerang saraf nomor 9, 10, dan 12. Saraf-saraf tersebut berada di dekat kerongkongan. Pasca serangan stroke, saraf pun melemah. Otot juga tidak bekerja secara  maksimal.

Masifestasinya, pasien merasa kesulitan menelan makanan. Bahkan, pada beberapa kasus, meski kesadaran telah pulih, otot kerongkongan masih kaku. Pasien masih harus dipasangi sonde. ’’Prinsipnya memang supaya pasien pasca serangan stroke masih bisa mandiri,’’

papar alumnus FK Unibraw tersebut.

Hasan pun menjelaskan, mesin NMES akan menghantarkan aliran listrik yang sesuai lewat kabel dan pads yang ditempelkan pada saraf yang bermasalah. Biasanya di bawah leher. Pemberian aliran bakal disesuaikan ketika seseorang akan menelan. Dengan durasi sekitar 50 menit, diharapkan saraf dan otot yang terus terangsang menjadi terlatih.

Mengapa harus listrik? Hasan menuturkan, pergerakan otot dan saraf dalam tubuh mengandung komponen listrik. Bila rangsangan

listrik didapat secara normal, kekuatan akan berkurang. Biasanya, pasien memang pasien stroke yang sempat bedrest total berminggu minggu hingga dipasangi sonde.

Tapi, salah satu syarat patennya, pasien masih bisa diajak berkomunikasi alias memiliki kesadaran penuh. Terapi tersebut memang dipandu fisioterapis, namun pasien harus tetap sadar. ’’Namanya terapi menelan, pasien akan diingatkan kembali cara menelan sehingga harus kooperatif,’’ lanjut dokter RSK St Vincentius a Paulo (RKZ) itu.

Salah satu yang menjadi pelanggan adalah Sudjiani. Perempuan 69 tahun tersebut terkena

serangan stroke beberapa tahun lalu. Selain ngomong pelo, dia merasa sulit menelan makanan. Meski awalnya sangat takut memulai

terapi, sebab dari aliran listrik, Sudjiani bertekad mencoba demi tidak bergantung kepada orang di seke lilingnya. ’’Ternyata rasanya cuma bergetar, nggak nyetrum. Saya menjadi nyaman,’’ tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: