Capres Andalkan Popularitas Melemahkan Demokrasi

Capres Andalkan Popularitas  Melemahkan Demokrasi

JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli mengatakan, indikator popularitas yang selama ini dijadikan sebagai isyarat seseorang pantas untuk diusung menjadi calon presiden (Capres), merupakan gejala yang sangat tidak baik untuk memilih pemimpin di negara demokrasi.

“Kalau hanya popularitas yang menjadi indikasi seseorang pantas diusung sebagai Capres, saya rasa itu pekerjaan yang sangat mudah dan murahan. Karena untuk mengangkat popularitas itu cukup dengan cara menyuguhkan iklan, spanduk baliho dan poster kepada rakyat,” kata Rizal Ramli, di kantor Econit, Jakarta, Rabu (20/2).

Menurut Rizal, gejala komunikasi politik satu arah dengan menggunakan iklan, spanduk baliho dan poster sebagai cara untuk mengangkat popularitas, sesungguhnya melemahkan substansi dari demokrasi. Sebab, demokrasi itu sesungguhnya lebih mempertaruhkan tataran ide dan gagasan serta implementasinya dalam mengelola negara.

Kalau akan tetap mengandalkan popularitas sebagai indikasi diusungnya Capres, kata Rizal Ramli, maka demokrasi Indonesia mengarah ke demokrasi ala Filipina yang memilih pemimpinnya hanya berdasarkan faktor kekayaan dan pesohor.

“Jangan harap negara Indonesia bisa menyamai negara Cina, Jepang maupun Korea, jika hanya mengandalkan popularitas dalam mencari seorang pemimpin. Kalau itu terjadi, maka bangsa Indonesia telah meniru politik negara Philipina,” tegasnya.

Lebih lanjut Rizal mengatakan, sudah saatnya pemimpin setelah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau  di pemilu 2014, tidak lagi memilih berdasarkan pencitraan, tetapi berdasarkan pencerdasan. Artinya tokoh yang sudah teruji, baik dari segi akademik dan pengalaman di masyarakat dan masyarakat Indonesia mengedepankan aspek atau kriteria integritas dan kompetensi serta amanah untuk memilih seorang presiden, bukan berdasarkan popularitas.

“Bisa dibayangkan dengan penduduk 200 juta, jika hanya mengandalkan foto, baliho spanduk maupun iklan, maka Indonesia tak akan maju. Kalau itu yang terjadi, maka dulu Bung Karno tak akan pernah menjadi presiden Indonesia. Tiga hal penting untuk memilih pemimpin adalah amanah, integritas dan kompetensi,” ungkapnya.

Ditambahkan Rizal, disaat parpol yang sudah tidak laku di mata rakyat, maka selayaknya Indonesia mencari orang yang telah memiliki integritas, kompetensi dan bersih KKN. “Sebab integritas dan kompetensi itu tidak bisa direkayasa. Semakin populer tokoh itu maka akan memudahkan negosiasi dengan parpol. Dan popularitas itu bisa diangkat melalui media,” katanya.

Selain itu, Rizal juga mengungkap keprihatinannya karena Indonesia yang dikenal super kaya-raya, tetapi 60 persen penduduknya masih kategori miskin. Kondisi tersebut terjadi, akibat banyak masalah sosial tak kunjung tertangani, yang disebabkan pemimpinnya selain tidak amanah juga tidak memahami persoalan yang sedang dihadapi dan bagaimana langkah memperbaiki kehidupan rakyat.

“Mimpi reformasi adalah rakyat sejahtera, demokratis dan supremasi hukum terpelihara, tetapi apa yang terjadi, jauh dari harapan. Bahkan kegiatan kenegaraan kita bagai pasar malam, siapapun bisa masuk berbaur ke dalam,” ujarnya.

Dikatakannya, mestinya ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga 14 persen, tidak hanya 6 persen.  “Dengan tingkat pertumbuhan sekarang ini, kita tidak bisa bermimpi mengejar kemajuan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura apalagi Korea, Jepang dan China, “ tegas Rizal Ramli.

(fas/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: