Harga Pulau Berhala

Harga Pulau Berhala

Oleh Bahren Nurdin, SS., MA

Menarik mencermati opini yang ditulis oleh saudara Ansorullah, SH., MH yang dimuat di koran ini (selasa, 26 Feb 2013) yang berjudul ‘Kasus Pulau Berhala dan Inkonsistensi Policy PemPus”.  Tulisan ini menjadi sangat penting karena Saudara Ansorullah adalah salah seorang anggota tim advokasi yang ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi Jambi dalam kasus ini. Maka baik langsung maupun tidak langsung dapat dimaknai tulisan ini juga merupakan jawaban dan pandangan dari tim.

  Paling tidak terdapat dua hal penting yang patut digarisbawahi dari tulisan ini. Pertama, mengemukakan dasar-dasar hukum penentuan batas wilayah yang inkonsistensi oleh pemerintah pusat, Saudara Ansorullah ingin menegaskann bahwa sesungguhnya dalam kasus Pulau Berhala ini pemerintah pusatlah yang paling bertanggung jawab karena terdapat inkosistensi dalam melatakkan dasar-dasar penentuan wilayah yang sedang dipersengketakan; Pulau Berhala. Sebuah pemikiran yang perlu diapresiasi. Kita sama-sama memetik pengetahuan dari tulisan ini ternyata masih terjadi ketidakkonsistensian kebijakan dan penetepan undang-undang oleh pemerintah pusat dalam menentukan batas-batas wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

  Akan tetapi, masalahnya adalah mengapa dalil-dalil ini baru disampaikan sekarang? Bukankah ini juga merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki oleh tim untuk memenangkan perkara ini? Atau, sesuai pepatah orang Jambi, “cekak abis silat teingat” (perkelahian selesai baru ingat jurus silat). Atau dalil-dalil ini dikemukakan hanya sebuah alibi pencarian kambing hitam setelah tim harus mengakui kekalahan mereka. Pemerintah Pusat dan undang-undang dijadikan kambing hitam. Apa pun itu, tentu kita kembalikan kepada hati nurani orang-orang yang berkepentingan di dalam kasus ini. Kita yakin mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk negeri ini, semoga.

 

Kedua, pernyataan saudara Ansorullah yang menyatakan bahwa Pulau Berhala bukan segala-galanya sungguh sangat melukai hati masyarakat Jambi. Pernyataan ini menyiratkan bahwa ternyata di mata tim, Pulau Berhala hanya dilihat sebagai sebuah pulau kecil yang memiliki luas hanya 40 ha. “Bagi masyarakat Jambi yang belum pernah ke Pulau Berhala, berkemungkinan dalam imajinasinya pulau berhala merupakan pulau yang luasnya berpuluh kilometer, sehingga dapat dibangun sebuah kota/kabupaten atau Kota sekelas kecamatan, sehingga bisa dibangun berbagai fasilitas kepariwisataan berupa hotel berbintang, taman-taman dan sebagainya. Sebenarnya pulau berhala itu menurut ukuran pulau sangat kecil, sehingga dalam Peta Residentie Djambi (Schetskaart, dengan skala 1:1.700.000), pulau berhala hanya berupa sebuah titik di tengah laut. Berdasarkan pengamatan penulis yang pernah menginap disana, luas pulau berhala (pulau induk) hanya berkisar 40 ha”.

 

Dapat dimaknai bahwa adalah wajar jika masyarakat mempertanyakan keseriusan tim ini dalam  memperjuangkan Pulau Berhala karena di mata mereka pulau ini hanyalah pulau kecil yang tidak penting. Mereka lupa nilai-nilai non materi yang ada di pulau ini. Di pulau ini ada ikatan emosiaonal, nilai historis (sejarah), pautan budaya, dan lain sebagainya. Pulau ini tidak boleh hanya dilihat dari sisi materi belaka tapi added value yang ada di sana. Hanya bangsa yang besar yang menghargai sejarahnya. Tidak bisa kita berkata tidak bahwa ada akar atau umbi sejarah masayarakat Jambi di sana. Sekali lagi, anggapan bahwa Pulau Berhala hanya pulau kecil yang tidak terlalu penting sungguh sangat menyedihkan.

 

Lantas berapa harga pantas Pulau Berhala? Saudara Asorullah  mengemukakan “polemik pulau berhala pada hakekatnya tidak sebanding dengan kondisi demografis dan geografis serta pembiayaan yang dikeluarkan untuk memperjuangkannya. Alangkah tidak rasionalnya Pemerintah Provinsi Jambi jika ini dilakukan”. Pernyataan ini kontra produktif dengan pernyataan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan kita adalah bawah Pemprov pernah membeli tanah di Pulau Berhala seharga Rp. 500.000.000 untuk tanah seluas satu setengah hektar dan sertifikatnya dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Kepri (www.tempo.co).  Bukankah harga ini sungguh sangat tinggi untuk sebuah  pulau  terpencil? Apakah ini dianggap rasional dan efisien?  

 

Hal lain yang perlu kita cermati dari kasus Pulau Berhala ini adalah  menyangkut hukum jual beli tanah. Bagaimana bisa terjadi jual beli tanah di atas pulau yang sedang bersengketa. Ini juga sebuah  pertanyaan besar yang petut dipertanyakan. Lebih jauh lagi, rasionalkah harga yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Jambi untuk membeli tanah seluas satu setengah haktar tersebut. Jangan-jangan ini adalah praktek lain yang serupa dengan kasus Hambalang? Kita sebagai masyarakat tidak perlu berburuk sangka (su’uzon), tapi pihak-pihak terkait khususnya penegak hukum sudah selayaknya melihat kasus ini dengan serius.

 

Tulisan ini tidak bermaksud menyerang atau menyakiti siapa pun. Saya benar-benar minta maaf jika ada pihak-pihak yang meresa dirugikan. Tulisan ini semata menunaikan tanggungjawab moral sebagai masyarakat Jambi dan akademisi. Saya hanya mencoba memberi opini dan pemikirin kepada kita semua. Semoga bermanfaat, amin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: