Perlindungan Kesehatan Masyarakat Setengah Hati

Perlindungan Kesehatan Masyarakat  Setengah Hati

(Kewajiban Pemerintah Yang Belum Optimal)

Oleh : H. Navarin Karim

Banyak sudah kasus terjadinya penolakan rumah sakit terhadap masyarakat yang akan berobat inap dengan alasan tidak memenuhi prosedur (include tidak mempunyai jaminan yang mumpuni), fasilitas pelayanan tidak menyediakan untuk penyakit tersebut atau alasan ruangan penginapan penuh. Terakhir kasusnya Ana Mudrika (14 tahun), gadis  belasan tahun yang pertama mendapat perawatan dua hari di Rumah Sakit Firdaus Jakarta. Sesuai dengan diagnosis dokter, Ana menderita jepitan khusus kronis. Rumah Sakit Firdaus Jakarta tidak bisa menangani penyakit Ana karena Rumah Sakit itu adalah Rumah Sakit paru. RS Firdaus meminta keluarga mencari rumah sakit lain yang kompeten. Sayangnya dokter atau pihak rumah sakit Firdaus  tidak langsung memberikan rekomendasi ke rumah sakit yang lebih kompeten tersebut. Akibatnya terombang-ambing pergi ke rumah sakit lain yaitu RSUD Koja, RS Pelabuhan, RS Mulyasari, RS Islam Sukapura. Semuanya menolak dengan berbagai alasan, akhirnyanya nyawa Ana Mudrika tidak tertolong. Akibat ini semua, Dinas Kesehatan Pemerintah  Provinsi DKI Jakarta melakukan tindakan “seolah-olah” pihak Dinas Kesehatan pemerintah Privinsi DKI Jakarta responsive yaitu dengan melakukan  peneguran terhadap ke lima rumah sakit tersebut. Lima rumah sakit itu terikat perjanjian kerja sama dengan pemprov DKI dalam program Kartu Jakata Sehat (KJS), sehingga tak seharusnya membiarkan pihak keluarga mencari sendiri layanan untuk pasien. Jika pasien sendiri mencari sendiri pelayanan, mereka sering terombang ambing. Tidak kecuali terjadi di Rumah Sakit Umum Raden Mat .Thahir, jika harus rawat inap dan menginginkan kelas vip, nasib mujur bisa dapat kamar. Kalau tidak harus harus cari orang dalam untuk mendapatkan satu kamar inap kelas vip. Kenapa harus cari orang dalam ya? 

Cuci Tangan.

Dengan adanya peneguran tersebut seakan-akan pihak Dinas Pemerintah pemerintah DKI Jakarta sudah tidak dapat disalahkan lagi. Tapi pihak Dinas  Kesehatan pemprov DKI Jakarta tidak pernah introspeksi bahwa penyediaan fasilitas umum untuk rumah sakit belumlah maksimal, baik secara kuantitas maupun kualitas. Belum lagi soal birokrasi yang diciptakan oleh Dinas Kesehatan. Ketika pihak rumah sakit yang melayani masyarakat dengan menggunakan KJS akan melakukan klaim, dana tidak bisa cepat dicairkan. Sementara pihak rumah sakit perlu biaya untuk cadangan obat dan biaya operasional dokter yang harus dibayar.  Oleh sebab itulah rumah sakit kalau masih  bisa menolak, ia ditolak dahulu karena resiko menerima pasien KJS jelas ada masalah karena kelancaran pelayanan pasien  lainya di rumah sakit relative akan lebih terganggu.

Kewajiban Pemerintah

Fungsi utama pemerintah pada umumnya berupa pengadaan pelayanan umum, pengaturan dan perlindungan serta pembangunan  dan pengembangan (Dirjen Pemerintah Umum, 2004). Dan ini telah diamanahkan secara tegas dalam UU no 32 tahun 2004 pasal 22 ayat a, disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai kewajiban  melindungi masyarakat, ………….

Memang soal perlindungan ini, sanksi tegas jika terjadi kelalaian dari pemerintah sanksi yang diberikan tidaklah begitu tegas. Akibatnya pihak pemerintah melakukan perlindungan ini tidak optimal dan terkesan setengah hati. Lihat saja pelayanan pasien-pasien rawat inap terkesan ala kadarnya, bahkan beberapa dokter jaga  baru mau menjenguk jika pasien sudah sekarat. Apakah akibat pihak  rumah sakit dan dokter sudah terkena virus komersil? Padahal dalam sifat pelayanan dalam Administrasi Negara dalam buku Filsafat Administrasi disebutkan bahwa : Pemerintah berkewajiban melayani masyarakat dengan perlakuan yang sama. (SP. Siagian, 2008).  Artinya jika rumah sakit tersebut milik pemerintah (bukan swasta), maka setiap masyarakat tidak ada perbedaan kualitas pelayanan. Nyatanya di rumah-rumah sakit milik pemerintah kita temukan adanya kasta-kasta (Kelas Eksekutif, Vip, kelas satu, kelas 2 dan kelas 3). Inilah pangkal utama terjadinya komersialisasi dalam pelayanan di rumah sakit.

Seharusnya.

Pemerintah menghilangkan kasta-kasta/klasifikasi yang ada di rumah sakit pemerintah, jika mampu  mengadakan untuk kualifikasi kelas satu, semua pasien yang berobat dirumah sakit pemerintah harus dilayani untuk kualitas kelas satu. Tapi jika ingin memperoleh kualitas yang lebih atau setara kelas vip, maka dipersilakan mereka berobat ke rumah sakit swasta, karena pelayanan swasta dibolehkan membuat kelas-kelas karena motifnya jelas profit. Jangan ada lagi pelayanan di rumah sakit milik pemerintah wong cilik dibedakan dengan PNS atau masyarakat yang mampu. Bukankah kebijakan public harus berorientasi kepada wong cilik? Orang sakit bisa cepat sembuh kalau hatinya disenangkan, bukan malah disusahkan.

------------------------------

 Penulis adalah Dosen PNSD Kopertis Wil. X dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: