Panglima Jalanan Dalam Tahanan
Dua tokoh kelompok pemuda yang namanya kerap tersangkut saat ada bentrokan massa kini dalam tahanan aparat keamanan. Satu masih dalam status tersangka, yaitu Hercules Rozario Marshal, sementara John Kei sudah divonis pengadilan.
Jumat petang, 8 Maret 2013 silam, bisa jadi hari yang nahas bagi Hercules, tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai pentolan Tanah Abang.
Kata polisi, ada laporan masyarakat tentang tindakan pemerasan dan intimidasi yang dilakukan Hercules serta anak buahnya di pembangunan ruko milik PT Tjakra Multi Stategi, Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Anak buah Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Baru itu juga dituding merusak kaca dan bangunan ruko serta kedapatan membawa senjata tajam. Kepolisian pun membekuk mereka.
Kini, Hercules berstatus tersangka bersama 49 orang lain atas tuduhan mengganggu ketertiban umum, penghasutan, dan kepemilikan senjata api. Undang-Undang Darurat siap menghakiminya.
Polisi memang menyita barang bukti, seperti tiga bilah parang, satu buah panah, dua buah anak panah, tujuh bilah pisau belati, sepucuk senjata api jenis FN, dua unit magasin, sepucuk senjata api jenis Revolver, 27 butir peluru, dan uang tunai sebesar Rp5,9 juta.
Ini bukan kali pertama Hercules berurusan dengan polisi. Namanya kerap dikaitkan dengan kasus kriminalitas.
Pada tahun lalu, Agustus 2012, sempat terjadi bentrokan antara kelompok Hercules dan John Kei di Cengkareng, Jakarta Barat. Kasusnya adalah rebutan penguasaan lahan kosong. Banyak yang ditangkap, 98 tersangka ditahan di Polres Jakarta Barat dan Polda Metro Jaya. Kepolisian juga berjanji bakal memeriksa Hercules, namun rencana itu tak pernah terwujud.
Urusan Hercules dengan pihak keamanan tak hanya soal keributan yang ia lakukan, tapi juga menampung buronan.
Pada Maret 2012, kediaman Hercules di Indramayu dijadikan tempat persembunyian Irene Sophia Tupessy, tersangka penyerangan dengan senjata tajam di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, yang terjadi sebulan sebelumnya. Polisi berjanji memeriksa, tapi tak pernah ditepati.
Hercules memang pernah ditahan pada Desember 2005. Ketika itu, dia mendekam di rumah tahanan Polda Metro Jaya selama 60 hari. Pasalnya, sekitar 20 anak buahnya menyerbu kantor redaksi sebuah surat kabar lantaran tidak puas atas pemberitaan yang mengaitkan bosnya dengan premanisme.
Belakangan ini, Hercules juga dikenal sebagai aktivis politik. Jabatannya, Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Baru (GRIB), organisasi yang terafiliasi dengan Partai Gerindra. Eks pejuang Timor Timur ini memang memiliki kedekatan khusus dengan Prabowo Subianto, pendiri partai tersebut.
Bahkan pada Pilkada Jakarta tahun lalu, Hercules dan kawan-kawan turut berkontribusi pada kemenangan pasangan Jokowi-Basuki. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok adalah kader Partai Gerinda dan pasangan ini mendapat dukungan penuh dari Prabowo sebagai Ketua Dewan Pembina Partai.
Kedekatan antara Hercules dan Prabowo dimulai sejak Operasi Seroja di Timor Timur. Kala itu, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, pasukan Prabowo yang saat itu berpangkat Kapten, dianggap telah “dibantu” oleh pasukan gerilyawan pro-integrasi.
Hercules adalah warga sipil yang membantu Kopassus pada 1983 itu. Dia bertugas mengurus logistik, termasuk menjaga gudang peluru milik Kopassus. Melihat perannya dalam membantu Operasi tersebut, Hercules mendapat Bintang Setya Lencana Seroja Pemerintah Republik Indonesia pada 1990. Kedekatan Hercules dengan Prabowo pun berlanjut hingga kini.
John Kei
Kasus premanisme juga melibatkan nama John Refra alias John Kei. Tokoh pemuda Maluku tersebut disebut-sebut sering bersinggungan dengan berbagai aksi kekerasan di beberapa wilayah Jakarta. Ia ditangkap aparat kepolisian pada 17 Februari 2012 silam setelah terkepung di Hotel C’One kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Tuduhannya: terlibat dalam kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Mandiri, Tan Harry Tantono alias Ayung.
John Kei sudah divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2012. Dia terbukti terlibat kasus terbunuhnya bos PT Sanex. Tokoh Angkatan Muda Kei (AMKei) ini terbukti melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 dan 56 Ayat 1 ke-2 KUHP, tentang Pembunuhan Berencana.
Pada September 2010, nama John Kei muncul saat ada bentrok antara sekelompok pemuda keurunan Maluku – disinyalir kelompok Kei - dengan pemuda keturunan Flores – disebut kelompok Thalib Makarim - di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Bentrok tersebut berawal dari konflik di kafe Blowfish yang terjadi empat bulan sebelumnya. Peristiwa ini menewaskan 3 orang dan 10 orang lainnya luka-luka. Saat sidang terduga pembunuhan itulah terjadi bentrokan antara rekan-rekan korban dengan rekan-rekan terdakwa.
Nama John Kei juga ikut disebut pada peristiwa pembunuhan Basri Sangaji, tokoh pemuda Maluku, Oktober 2004. Namun sebatas itu saja, karena ternyata saat di persidangan nama Kei tidak termasuk dalam daftar terdakwa. Tiga terdakwa dalam kasus tersebur divonis penjara selama 9 tahun, lima lagi dijatuhi hukuman penjara, dari satu tahun hingga lima tahun.
Saat pembacaan vonis, hampir terjadi bentrok ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, golok, serta celurit. Mereka, diduga dari kelompok Basri Sangaji dan John Kei, saling berhadapan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Petrus
Pada 1980an, Orde Baru menjalankan operasi Penembakan Misterius (Petrus) atau Operasi Clurit. Petrus bertujuan menurunkan tingkat kriminalitas yang memuncak di kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, serta Semarang.
Militer menggunakan intel untuk membuat daftar hitam orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat. Para kelompok kriminal ini pun diberi peringatan untuk segera menyerahkan diri dan mengisi data diri mereka di kepolisian.
Mereka yang sudah menyerahkan diri akan mendapat kartu identitas khusus dan dikenakan wajib lapor kepada komandan kesatuan militer. Jika lalai, maka mereka akan menjadi sasaran penembakan.
Beberapa korban Petrus ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan leher terikat. Namun, sebagian besar korban Petrus dimasukkan ke dalam karung, kemudian ditaruh di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Salah satu identitas yang mudah dikenali dari para korban ini adalah tato.
Tindakan ini berhasil menurunkan tingkat kriminalitas. Tapi di lain sisi, malah menciptakan teror baru di masyarakat, yakni eksekusi tanpa proses hukum serta tanpa menghormati asas praduga tak bersalah.
Dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), sepanjang periode 1983-1985 sebanyak 721 menjadi korban pembunuhan secara misterius. Ketika itu, aparat keamanan Indonesia terlalu leluasa melancarkan aksi kekerasan untuk menangani para buronan demi menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Namun stabilitas yang berbuah ketakutan.
(Yahoo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: