>

Sudah Tua, Patung Tuan Ma Diganti Yang Muda

Sudah Tua, Patung Tuan Ma Diganti Yang Muda

 Mengikuti Semana Santa, Tradisi Berumur Lima Abad di Larantuka (2-Habis)

 Begitu cintanya warga Larantuka kepada Tuan Ma. Sehingga saat patung tua itu kian rapuh, warga menolak memperbaruinya. Padahal, setiap tahun patung tersebut harus diarak dan digotong mengelilingi Larantuka pada puncak prosesi Semana Santa. Tapi, sudah dua tahun ini Tuan Ma kembali muda.

 DOAN WIDHIANDONO, Larantuka

 PANTAI Larantuka 500 tahun silam. Angin tenang. Ombak tiada. Seorang anak dari suku Resiona turun ke laut, hendak berkarang. Itu adalah aktivitas mencari ikan dan siput di sela-sela karang pantai saat laut surut.

 Saat itu sesosok perempuan cantik muncul di hadapan anak tersebut. Meski tersenyum, wajah \"bidadari\" itu tak mampu menyembunyikan kedukaan. Bertanyalah si anak tentang nama perempuan misterius tersebut. Sang bidadari hanya diam. Dia lantas menuliskan sesuatu di pasir pantai. Tulisan itu tak dimengerti si anak. Saat dia mendongak untuk bertanya lagi, sosok perempuan tersebut sudah tiada. Kehadirannya berganti menjadi patung perempuan cantik.

 Agar tulisan tersebut tidak hilang, si anak memberi batas bebatuan di sekelilingnya. Si patung lantas dibawa pulang dan ditaruh pada koke bale, semacam pendapa komunal milik suku. Lalu, jadilah patung perempuan itu sebagai benda keramat, lambang kehadiran bidadari untuk melindungi suku tersebut.

 Bertahun-tahun kemudian datanglah para padri dari Ordo Dominikan, yang kala itu getol menyebarkan agama berbarengan dengan kedatangan bangsa Portugis. Si anak yang sudah dewasa pun menunjukkan patung keramat milik suku tersebut. Pastor Katolik itu juga dibawa ke pantai tempat sang bidadari menuliskan namanya. Di situ masih terbaca: Reinha Rosario Maria. Mereka pun yakin bahwa patung tersebut adalah perlambang Bunda Maria, sang Ratu Rosari. Dan disebutlah patung itu sebagai Bunda Maria yang lantas mendapat panggilan sayang sebagai Mama. Itu pula yang memunculkan sebutan Tuan Ma.

 ***

 Cerita asal-muasal Tuan Ma atau patung Maria Dolorosa (Bunda Maria Berdukacita) di Larantuka memang begitu banyak. Kisah itu sudah menjulur-julur hingga puluhan generasi, bercampur legenda dan mistifikasi.

 Salah satu catatan sejarah yang ditulis Francois Valentyn, penulis Belanda, menyebutkan musibah kapal karam di perairan sekitar Larantuka di awal abad ke-16. Dikisahkan pula sebuah patung yang terlontar dari kapal terdampar di pantai.

 Yang terang, kehadiran Tuan Ma tersebut mendahului kedatangan misionaris Portugis yang secara resmi tercatat kali pertama pada 1561 atau 462 tahun silam. Umat pun yakin bahwa patung Maria Dolorosa itu sudah berumur 500 tahun lebih. Karena itu, \"ulang tahun\" ke-500 Tuan Ma dirayakan secara besar-besaran pada 2010.

 Lima abad melintasi zaman membuat Tuan Ma kian rapuh. Pada Kamis Putih lalu (28/3) tampak sebuah retakan besar menghiasi bagian pipi kanan Tuan Ma, memanjang hingga ke dagu.

 \"Karena ini buatan manusia, pasti ada umurnya,\" kata Don Andre III Marthinus DVG, raja Larantuka. Karena itu, atas prakarsa Uskup Larantuka Mgr Fransiskus Kopong Kung Pr, dibikinlah arca replika Tuan Ma. Usul itu tak lantas diterima. Suku-suku Semana yang merasa memiliki patung tersebut menolak. Salah satu suku bahkan mengancam mundur selamanya sebagai salah satu bagian tradisi perarakan Tuan Ma. Tapi, setelah Don Marthinus berdiskusi terus, usul uskup pun diterima. Tuan Ma dibuatkan replika.

 Pembuatannya tak sembarangan. Patung harus bisa semirip mungkin dengan Tuan Ma. Padahal, menurut Don Marthinus, sang raja, patung asli itu terbuat dari amber. Itu semacam getah kayu yang lantas menjadi fosil dalam proses berjuta-juta tahun. \"Bayangkan, 500 tahun lalu sudah ada arca seindah itu,\" ungkap Don Marthinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: