Kelestarian Hutan Terancam
JAMBI – Kelestarian hutan Indonesia, termasuk juga Jambi terancam dengan berkembangnya usaha sawit dengan membuka lahan baru oleh masyarakat. Pemerhati lingkungan hidup yang juga Direktur Yayasan Prespektif Baru, Wimar Witoelar mengatakan, sudah saatnya pembukaan lahan kelapa sawit dihentikan.
Pasalnya, menurut dia, kelapa sawit adalah salah satu jenis tumbuhan monokultur yang tak bersahabat dengan lingkungan. Hal ini disampaikannya dalam diskusi dengan tema “Masa Depan Hutan Ada di Tangan Generasi Muda” di Universitas Jambi, kemarin (9/4). \"Selain itu, sebagian besar upaya pembukaan kebun sawit lebih banyak merambah kawasan hutan,\" ujarnya.
Ditegaskannya, jika tak dilakukan upaya serius, maka sejumlah daerah akan semakin terancam bencana ekologi, seperti banjir dan kekeringan yang parah. Sementara itu, Diki Kurniawan, Manajer Program kebijakan dan Advokasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menjelaskan, kawasan hutan di Provinsi Jambi seluas sekitar 2,1 juta hektar.
“Terdiri dari 1,1 juta hektar kawasan taman nasional, seperti Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Berbak dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selebihnya, merupakan kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi,” ungkapnya.
\"Kondisi tutupan hutan di Provinsi Jambi saat ini sudah sangat memprihatinkan, antara lain karena akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri secara berlebihan, tanpa memperhatikan dampaknya. wajar saja bila musim hujan mengalami banjir dan sebaliknya kemarau mengakibatkan kekeringan,\" tambahnya.
Sementara itu, Gita Syahrani, menyoroti tentang banyaknya terjadi konflik lahan, antara perusahaan dengan masyarakat. Menurut Gita, data dari Kementrian Pertanian mencatat, dari 1.000 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, 59 persen diantaranya terlibat konflik. \"Secara teoritis penyebab konflik, perusahaan membutuhkan lahan luas, sementara lahan tersebut dalam penguasaan masyarakat,\" ujarnya.
Penyebab konflik ini, kata dia, antara lain sebagai akibat kurang tegasnya pengaturan dan konsistensi tata ruang di tiap level pemerintahan. Selain itu, tidak jelasnya status lahan dan bukti pemilikan, serta kurangnya kebijakan pengaman lingkungan, sosial dan ekonomi yang memadai. Untuk itu, semua pihak hendaknya terus ikut memantau dalam kegiatan penyusunan dan pengesahan tata ruang disetiap daerah.
Dekan Falutas Ekonomi Unja, Syamsurizal Tan, dalam kesempatan yang sama menilai, pembukaan perkebunan kelapa sawit secara luas di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi, tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat secara umum.
\"Kebun kelapa sawit hanya menguntungkan pemilik perusahaan, sementara masyarakat di level menengah ke bawah bahkan dirugikan. Kondisi ini, karena masyarakat disekitar kebun sendiri tidak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan maupun kepemilikan,” sebutnya.
Disamping itu, katanya, pembukaan lahan perkebunan sawit juga tak memperhatikan lingkungan sama sekali. “Tidak itu saja, pembukaan kawasan perkebunan juga mengesampingkan kelestarian lingkungan hidup,\" pungkasnya.
(wsn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: