>

Ekonomi Perbudakan

Ekonomi Perbudakan

Oleh : Suwardi

                Buruh adalah pekerja kelas bawah yang diharamkan sejahtera. Buruh dipandang sebelah mata, dan dianggap seolah tidak punya nyawa dalam pembangunan ekonomi dunia. Buruh juga merupakan pekerja rendahan yang tidak sepadan dengan pengusaha kelas atas yang berdasi lagi berkedudukan tinggi. Barangkali demikianlah gambaran nyata terhadap kondisi ekonomi dunia dan kesejahteraan rakyat banyak selama ekonomi dunia masih dikendalikan oleh kaum borjuis – kapitalis.

                Betapa tidak, Semenjak Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas dunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions. Perjuangan kelas buruh ini memberikan momentum tuntutan pengurangan lama jam kerja yang pada saat itu mencapai 19 sampai 20 jam sehari. Jumlah jam kerja yang sangat tidak manusiawi pada masa itu. Bahkan jumlah jam kerja yang tidak berbanding lurus dengan upah yang diterima oleh para buruh. Pekerjaan yang secara filosofi mampu mensejahterakan buruh justru kian memiskinkan dan kian tenggelam dalam perbudakan kapitalis. Demikian juga halnya dengan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, kondisi para buruh dalam konteks kesejahteraan sangat memprihatinkan dan kian tidak manusiawi diperlakukan oleh para kapitalis.

Dalam konteks ke-Indonesia-an dewasa ini, gerakan-gerakan buruh selalu identik dengan perjuangan peningkatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), menolak adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak perusahaan/pabrik, penghapusan sistem outsourching yang cenderung merugikan kaum buruh di Negeri kaya Sumber Daya Alam sekelas Indonesia ini. Semua tuntutan para buruh tersebut bermuara kepada keinginan meningkatnya taraf hidup serta kesejahteraan buruh atau pekerja.

Akan tetapi apakah hanya terbatas pada pemenuhan akan tuntutan untuk memperoleh kesejahteraan semata yang menjadi masalah oleh puluhan juta buruh di Indonesia ? dengan aksi turun ke jalan, boikot sentra-sentra produksi perusahaan, apakah lantas masalah perburuhan akan menemui titik usai ? jawabannya adalah tidak. Karena hemat penulis yang sedang kita hadapi saat ini bukanlah peraturan pemerintah dan perusahaan yang menganaktirikan para buruh di Indonesia. Akan tetapi sistem Kapitalisme yang masih didewakan oleh bangsa kitalah yang menjadi akar masalahnya.

 

Kapitalisme dan Perbudakan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia sampai Agustus 2010 tercatat berjumlah 108, 21 juta orang. Dari jumlah tersebut, status pekerjaan utama yang terbanyak adalah sebagai buruh/karyawan sebesar 32,5 juta orang (30,05%), diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,7 juta orang (20,04%), dan berusaha dibantu buruh tetap sebesar 3,3 juta orang (3,01%). Ditambah lagi dalam satu tahun terakhir (Agustus 2009 – Agustus 2010) terdapat penambahan pekerja dengan status buruh/karyawan sebesar 3,4 juta orang (BPS).

Data diatas menunjukkan kepada kita bahwa dari jumlah seluruh orang yang bekerja di Indonesia, sekitar 57% adalah berstatus sebagai buruh/karyawan. Sebanyak 60,4 juta orang buruh/karywan di Indonesia langsung bersentuhan dengan sistem kapitalisme. Sungguh angka yang sangat luar biasa dalam perspektif ekonomi Indonesia.

Dalam konteks ekonomi pasar, jumlah buruh di Indonesia akan terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah bangunan pabrik dan perusahaan di Indonesia. Karena roda ekonomi perusahaan tidak akan berjalan tanpa adanya pekerja sebagai bagian dari sentra produksi. Kondisi demikian tidaklah negatif jika ditilik dari konsekuensi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan zaman akibat kemajuan teknologi dan budaya manusia. Sebab akan meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.

Akan tetapi yang perlu kita gugat, kita koreksi dan perlu juga kita ubah sistem dan mekanisme produksinya adalah sistem kapitalisme yang masih terus kuat berakar dalam percaturan politik ekonomi dunia khususnya Indonesia. Sebab, sistem inilah yang selama ini sebenarnya disuarakan oleh kaum buruh di negeri ini. Akibat sistem yang dijalankan oleh para kapital tanpa adanya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat terutama kaum buruh dan pekerja lainnya dan memberikan perlindungan hukum terhadap buruh serta jaminan kesejahteraan ekonomi dan keluarga mengakibatkan perbudakan terselubung atas nama kerja di Indonesia tidak akan bisa dihindarkan lagi.

Berita menghebohkan yang terendus oleh media beberapa hari terakhir mengenai perbudakan yang dilakukan oleh Pabrik Panci di Tangerang merupakan cerita kecil perbudakan di negeri yang mengaku telah merdeka dari penjajahan dan perbudakan di Indonesia. 

Berdasarkan data yang telah diolah dari berbagai sumber, penulis dapatkan jika rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia berkisar antara Rp. 700.000 sampai dengan Rp. 1.400.000. Apabila kita ambil angka minimumnya yakni Rp. 700.000,- merupakan upah yang diterima oleh kaum buruh/pekerja di Indonesia. Jika diselaraskan dengan jumlah jam kerja yang lebih dari 8 jam per hari ditambah dengan jumlah jam lembur lebih dari 3 jam per hari dengan asumsi yang para buruh terima adalah Rp. 1.400.000,- per bulan ini merupakan upah yang tidak layak dengan hasil kerja terhadap perusahaan yang mereka hasilkan dan beri keuntungan kepada para kapital. Sebab, biaya hidup kian tinggi, pendidikan yang telah dikomersialisasikan menjadikan biaya pendidikan melambung tinggi, biaya kesehatan dan kebutuhan lainnya, mengakibatkan upah yang diberikan dengan besaran di atas menyebabkan para buruh kian tidak bernyawa dalam menopang ekonomi dan kebutuhan keluarga.

Bahkan ditambah lagi dengan ketidakjelasan nasib, kesejahteraan ekonomi dan masa depan anak-anak para buruh dalam pendidikan akibat dari sistem kerja kontrak outsourching yang diterapkan menambah panjang daftar ketidaklayakan dan ketidaknyaman hidup yang diterima oleh para buruh dari para kapital selama ini.  Kondisi inilah sebenarnya perbudakan terselubung hadir melingkupi keseharian kita tanpa sadar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: