Mencari Pemimpin Yang Pro Negara Maritim
Seperti telah kita ketahui bersama bahwasanya luas wilayah Indonesia walaupu belum diketahui secara pasti setidaknya dua pertiga (2/3) nya adalah merupakan lautan. Bahkan pakar hukum laut Indonesia Prof. Hasyim Djalal mengatakan bahwa ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, daratan Indonesia adalah semua yang mencakup bekas wilayah Hindia Belanda dengan batas laut teritorial hanya 3 mil dari garis pantai masing-masing pulau sehingga secara total luasnya 10.000 kilometer persegi dan wilayah udara sekitar 2 juta kilometer persegi yang berada diatas tanah dan laut teritorial. Wilayah itu kian bertambah semenjak Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 dengan Wawasan Nusantara nya yang mengukur batas laut teritorial RI menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dari kepulauan Indonesia. Dengan deklarasi ini, praktis wilayah laut Indonesia berubah menjadi 3 juta kilometer persegi.
Belum cukup dengan Wawasan Nusantara? Ternyata dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982, Indonesia juga berhak atas 12 mil laut teritorial dari garis pangkal lurus kepulauan, lainnya adalah zona 12 mil di luar wilyah laut yang berdekatan, hak-hak yang berdaulat atas sumber daya alam dan yurisdiksi lainnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) berupa 200 mil dari garis lurus nusantara dan landas kontinen (wilayah dasar laut) dengan batas terluar ZEE atau batas “benua margin” yang berarti masih harus ada perpanjangan alami dari wilayah daratan Indonesia ke dasar laut dari lautan di luar ZEE. Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 (UNCLOS 1982) ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17/1985 dan diberlakukan sejak 16 Nopember 1994 yang berarti telah diterima oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan. Dengan Zona Ekonomi Ekslusif ini berarti wilayah laut Indonesia menjadi 60 kali dari wilayah laut pada saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 yang berari wilayah laut Indonesia menjadi 6 juta kilometer persegi.
Melihat data-data tersebut diatas, adalah salah besar apabila calon pemimpin Indonesia kedepan tidak menjadikan atau memasukkan Inonesia sebagai negara maritim ke dalam visi dan misi nya.
Perubahan kebijakan dari negara agraris menjadi negara maritim sebenarnya bukan sekedar di tataran visi dan misi pada saat kampanye saja, tetapi lebih dari itu bermakna filosofis dengan perubahan yang sangat mendasar di segala bidang yang pada akhirnya akan terjadi sebuah revolusi sosial politik yang bukan saja mengubah wajah Indonesia secara parsial, tetapi akan benar-benar menjadi sebuah negara baru yang modern yang bertumpu pada kemampuan yang nyata.
Mengapa harus diubah dari negara agraris menjadi negara maritim? Apa yang salah dari penyebutan tersebut?
Tidak bisa dipungkiri, kurikulum dalam pendidikan di Indonesia semenjak masa orde lama, orde baru hingga sekarang ini jelas dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris sehingga tumpuan utama dari pembangunan dan pendapatan negara dialokasikan kepada sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan. Implikasinya arah pembangunan dipusatkan ke daerah pedalaman dengan cara menebang hutan untuk membangun atau mencetak sawah dan kebun baik karet atau sawit juga pertambangan yang merusak lingkungan.
Akibatnya? Ekosistem hutan rusak menyebabkan banjir yang parah di banyak wilayah karena tidak ada hutan yang menjaga keseimbangan air yang mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah. Rusaknya hutan juga menyebabkan satwa-satwa yang banyak hidup di hutan-hutan tropis terancam kepunahannya, bahkan binatang buas mulai keluar dari habitatnya masuk kampung karena hutan di tempat asalnya ekosistem nya sudah rusak. Disisi lain, kampung-kampung kecil di tengah pulau karena Indonesia sendiri terdiri dari pulau-pulau baik besar maupun kecil berkembang menjadi kota-kota perdagangan dan industri yang maju, sehingga banyak pabrik didirikan yang bukan hanya membutuhkan infrastruktur berupa jalan, jembatan, bandara dan lain sebagainya tetapi juga menjadi pusat konsentrasi warga yang mencari penghidupan yang lebih layak dibandingkan apabila bercocok tanam di desa.
Ekonomi desa yang menjadi penyangga kota benar-benar terjepit. Sawah dan perkebunan besar yang ada di desa ternyata sudah dimiliki oleh investor yang ternyata lebih senang tinggal di kota yang infrastrukturnya lebih baik. Uang hasil pertanian dan perkebunan sebagian besar mengalir ke tangan investor yang tinggal di kota, dibelanjakan di kota sehingga kota berkembang semakin pesat dan desa semakin lama semakin tertinggal.
Untuk membangun infrastruktur kota, pengelola negara tidak segan-segan berhutang kepada negara asing atau lembaga asing dengan jaminan sawah, kebun atau tambang yang ada. Bisa ditebak, pinjaman akan semakin menambah beban perekonomian karena negara ataupun lembaga asing tidak meminjamkan uangnya dengan cuma-Cuma. Maka wajar jika beberapa tahun yang lalu Indonesia sempat hampir kolaps diterjang badai krisis moneter yang sebenarnya tidak seberapa. Dikatakan tidak seberapa karena disaat negara tetangga kita sudah pulih ternyata masih menunggu waktu yang relatif lama bagi Indonesia untuk pulih. Badai ini pun memberikan imbas berupa penggantian rezim secara tidak normal karena tekanan pihak asing.
Kemajuan di kota-kota tentunya juga berdampak terhadap pola migrasi masyarakat sehingga sistem transportasi lebih mengandalkan jalan-jalan yang menghubungkan antara satu kota dengan kota lainnya. Akibatnya juga sudah bisa ditebak, tiap tahun pemerintah menganggarkan dana yang cukup besar untuk perbaikan jalan yang di hari-hari biasa jalan digunakan untuk transportasi barang dan jasa hasil industri, kebun dan tambang sehingga mempercepat kerusakan karena tidak sesuai dengan kapasitas. Tetapi pada momen-momen ritual tahunan harus segera diperbaiki untuk mengangkut dan memindahkan masyarakat yang mudik atau pulang kampung setahun sekali seperti lebaran dan natal atau tahun baru.
Sementara itu coba kita lihat kota-kota kecil di pesisir pantai. Bisa dikatakan hampir sebagian besar kota-kota dipesisir pantai adalah kota kecil dan merupakan kantong-kantong kemiskinan dengan penduduk sebagian besar nelayan miskin dan kumuh. Hasil limbah beacun dan berbahaya hasil buangan pabrik dan masyakat berupa sampah-sampah terutama plastik yang sulit terurai mengalir semua ke arah pantai. Mereka tidak sanggup untuk mengatasinya, bahkan untuk memikirkannya karena keterbatasan dana ataupun ilmu yang mereka punya. Akhirnya mereka Cuma bisa pasrah dan bersahabat dengan limbah yang hanya akan menambah kekumuhannya.
Kalau daftar tersebut diatas diperpanjang, niscaya akan lebih banyak lagi dan tidak pada tempatnya dalam tulisan di surat kabar dengan halaman yang terbatas. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai gambaran bagi calon-calon pemimpin kita dimasa depan terlepas bagaimana mereka mendapatkan dana kampanye yang sanggup meloloskannya untuk menjadi pemimpin.
Bahwasanya jika orientasi pembangunan diarahkan sebagai negara maritim, tentu saja pembangunan akan banyak dipusatkan ke daerah-daerah sekitar pantai. Kota-kota kecil sepanjang pantai pasti akan maju dan berkembang sehingga akan menyebabkan efek berganda berupa ekonomi uang yang beredar di kota-kota pantai. Ini jelas berpengaruh positif karena ada gula ada semut dan masyarakat tentunya akan mencari dimana uang atau gula itu berada. Kota pantai akan menjadi kota-kota bandar yang ramai sehingga di kampung akan terjadi deforestasi atau penghutanan kembali karena ditinggal oleh masyarakatnya. Ekosistem menjadi terjaga karena binatang, tumbuhan dan ada yang di dalam hutan mampu melindungi kota-kota pantai dengan suplai air bersih untuk kebutuhan masyarakat, dan disisi lain tidak ada aliran sampah atau limbah yang mencemari kota.
Kalau kita boleh jujur, sebenarnya berapa sih luas daratan Indonesia yang layak dihuni? Coba kita hitung hitungan kasar dan ini bisa ditindak lanjuti dengan data yang lebih akurat. Luas pulau yang besar di Indonesia sepert Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi serta Papua misalnya. Berapa persen yang layak huni setelah dikurangi gunung/ pegunungan, hutan, sawah/ ladang perkebunan dan pertambangan serta sungai dan daerah-daerah tidak layak huni karena sifat seperti padang tandus yang susah didapat air bersih.
Sudah selayaknya pemimpin memikirkan hal tersebut diatas. Apabila ada pemimpin yang mempunyai visi dan misi mengubah negara agraris menjadi negara maritim maka lebih layak kalau kita beri kesempatan. Semoga tulisan ringkas ini bisa menjadi inspirasi kita semua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: