Warna-warni Hari Anak Nasional (HAN)
Oleh : Tridai Sepitri, S.Pd.I
HARI Anak nasional (HAN) kembali kita peringati. Sejarah hari anak nasional berawal dari gagasan mantan presiden RI ke-2 Alm. Soeharto, yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa, sehingga mulai tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan lah setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Kegiatan Hari Anak Nasional (HAN) dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah. Masa anak-anak adalah masa yang sangat menyenangkan dunia yang penuh dengan kecerian dan tanpa beban. Hingga berbagai kegiatanpun diselenggarakan, mulai dari Seminar, Lomba penelitian, Kongres anak, Perayaan puncak HAN, Lomba kreativitas, Pameran, Pemilihan Duta budaya anak, Photograpi hingga Lomba permainan tradisional. Disamping itu, beragam prestasi internasional yang diraih anak-anak Indonesia, diantaranya menjadi Duta Anak ASEAN, menjadikan semakin berwarnanya peringatan hari anak nasional (HAN). Kita patut berbangga setiap kali mereka mengikuti kompetisi internasional selalu mempersembahkan medali bagi Indonesia.
Namun disisi lain, banyak sekali permasalahan yang masih membelit anak-anak kita. Saat ini, ada 7 juta lebih usia pendidikan dasar yang terancam putus sekolah, ada sekian juta yang mengalami gizi buruk, 30,7 juta lebih perokok anak, acara televisi yang kurang mendidik, banyaknya anak-anak yang menjadi pengemis, anak jalanan, bekerja siang dan malam, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, dan bahkan hamil di luar nikah. Dan masalah-masalah yang mungkin kurang menjadi perhatian tapi membutuhkan penanganan serius misalnya saat ini anak lebih suka main games daripada baca buku, mudah emosi atau marah, bicara kurang sopan, konsumtif dan banyak menghabiskan waktu dengan internet. Miris rasaanya melihat begitu kompleksnya permasalahan anak di negeri ini.
Ada banyak faktor yang menyebabkan permasalahan ini bisa terjadi. Diantaranya masalah ekonomi yang membuat rakyat semakin menjerit akibatnya banyak anak yang putus sekolah, menjadi pengemis, guna membantu keuangan keluarga, masalah pembinaan dari lingkungan terkecil yakni keluarga yang semakin kurang, suami-istri yang hari-harinya hanya sibuk bekerja menjadikan anak-anak merasa kurang perhatian hingga narkoba dan pergaulan bebas menjadi pelarian yang berujung kecanduan dan mengidap HIV/AIDS serta kemajuan teknologi informasi yang kurang disikapi dengan bijak.
Oleh karena itu, harus ada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak, tapi sebernarnya komitmen saja belum cukup mesti ada implementasinya. Sebenarnya secara hukum dan perundangan, telah banyak yang dilakukan oleh negara. Diantaranya pemerintah Republik Indonesia seperti telah diundangkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang memuat berbagai ketentuan tentang masalah anak di Indonesia. Instruksi Presiden No. 2 tahun 1989 telah ditetapkan tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum terciptanya Dasawarsa Anak Indonesia 1 tahun 1986 - 1996 dan Dasawarsa Anak II tahun 1996 - 2006.
Selanjutnya, dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI sebagai insitusi independen guna melakukan pengawasan pelaksanaan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara, melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara, KPAI juga dapat memberikan saran dan masukkan serta pertimbangan secara langsung kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak. Usaha lain yang dilakukan pemerintah, pada Kabinet Indonesia bersatu jilid kedua, Presiden RI merubah nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan harapan masalah anak menjadi lebih intens dan fokus untuk diperhatikan dan diselesaikan. Rasanya lengkap sudah institusi khusus Negara yang menangani masalah anak, tapi mengapa sampai saat ini masalah anak masih belum bisa terselesaikan malah terkesan semakin banyak dan kompleks. Tapi jika merujuk pendapat Prof.Dr.Emil Salim, \"Anak kadang memang tak masuk agenda politik dan partai politik serta tak pernah dibicarakan di DPR, karena tak bisa dijadikan tenaga pendukung politik. Isu anak dinilai tak menarik (non-marketable) dan sering tidak diacuhkan karena dianggap \"biayanya melebihi manfaat kegunaannya\". Jika sebagian pihak yang bertanggungjawab menangani permasalahan anak beranggapan isu anak tidak menarik dan tak memberi manfaat dan kepentingan bagi mereka, wajar saja jika masalah anak ini semakin sulit untuk diselesaikan.
Tapi sebenarnya tanggungjawab ini bukan saja dibebankan kepada pemerintah saja tetapi pihak lain juga, yakni masyarakat : dalam hal ini kita sebagai masyarakat harus menjaga agar kondisi lingkungan yang kita diami tidak memberi kesempatan bagi anak-anak berbuat kejahatan (narkoba, “mengotori kampung”). Orangtua : sebernarnya anak-anak adalah tanggungjawab utama orangtua, baik atau buruknya sikap anak di luar rumah itu mencerminkan bagaiamana anak dididik dan diperlakukan di rumah, sementara itu institusi seperti sekolah juga berkewajiban memberikan pendidikan sikap dan karakter yang baik bagi anak didiknya karena hampir sebagian besar waktu mereka dihabiskan di sekolah, dan sebagai media massa elektronik diharapkan bisa memberikan tontonan yang bisa mendidik anak-anak. Akhirnya, jika hari anak nasional kita pada tahun ini dan beberapa tahun belakang masih diwarnai dengan gelapnya masalah anak-anak indonesia, di tahun-tahun selanjutnya besar harapan warna itu berubah menjadi warna-warni yang indah dan menawan. Aamiin.
( Penulis adalah Mahasiswi Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam IAIN STS Jambi, Pendiri Rumah Baca Duku Anjabi (Dunia Buku Anak Jambi),
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: