Korupsi & Pencegahannya Cara Islam

Korupsi & Pencegahannya Cara Islam

Oleh Abd.Mukti,S.Ag

      PUBLIK sudah muak dan bosan, setiap saat disuguhi dengan pemberitaan berbagai kasus korupsi, kolusi, suap-menyuap, dan entah apalagi namanya yang senantiasa menghiasi media massa. Kasus korupsi yang satu belum selesai muncul lagi yang lain. Pelakunya pun tidak pandang profesi, dari kalangan “nasionalis” maupun dari yang berlatarbelakang “agamis”. Laki-laki, perempuan, pejabat birokrat, wakil rakyat, semuanya pernah dan bahkan sedang berurusan dengan penegak hukum. Pejabat yang dikenal “bersih” seperti Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga masuk dalam jeratan suap-menyuap.

      Tidaklah heran, jika banyak tokoh agama dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, serta Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum “turun gunung” mendesak pemerintah untuk menghentikan kepura-puraan dan kebohongannya dalam perang dan jihad melawan “perbuatan zalim” ini.

      Sudah banyak pejabat, birokrat, dan anggota DPR dan DPRD masuk bui tapi korupsi tak pernah berhenti. Ranking Indonesia pun patut “dibanggakan” karena selalu berada di puncak untuk kawasan Asia. Kalau toh bergeser, tak jauh dari posisi juara korupsi.

Haram & Zalim

      Korupsi dalam pandangan Islam adalah perbuatan haram dan zalim.Dosanya, tentu sangat  besar, karena menyangkut hak milik negara atau masyarakat. Dikatakan zalim, karena dampak korupsi itu sangat dahsyat, dapat merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan.Jika kejahatan korupsi tidak dapat ditekan jumlahnya dan bahkan membudaya dalam masyarakat, ini satu pertanda telah keroposnya keimanan masyarakat. Jika keimanan masyarakat telah keropos, tunggulah kehancurannya.

      Korupsi adalah perbuatan haram yang tingkat keharamannya lebih berat jika kejahatan itu dilakukan terhadap harta kekayaan milik umum (seperti korupsi APBN,APBD dan proyek-proyek negara untuk masyarakat). Rasulullah Saw bersabda: “Hai kaum muslimin, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti. Siapa yang kami beri padanya dari hasil itu hendaknya ia terima dan apa yang tidak diberikan janganlah ia ambil”.

Cara Islam Cegah Korupsi

         Syariat Islam telah memberi petunjuk tentang bagaimana meminimalkan tindak korupsi. Upaya pencegahan terhadap tindakan korupsi setidaknya harus dilakukan terhadap dua hal, menciptakan budaya yang bersih-Islami dan membentuk sistem pemerintahan yang tangguh.

      Budaya yang Islami dapat dilakukan dengan cara: Pertama, membekali aparat negara dengan ketaqwaan. Rasulullah saw telah menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada para sahabat. Terlebih kepada mereka yang ditunjuk menjadi aparat pemerintahan. Ditanamkan kepada mereka untuk tidak berbuat ghulul (curang). Imam At Tirmidzi menuliskan sebuah hadits dari Muadz bin Jabbal yang berkata: Rasulullah Saw mengutusku ke Yaman. Setelah aku berangkat, beliau mengutus orang lain menyusulku. Aku pun pulang kembali. Rasulullah saw bertanya kepadaku, “Tahukah engkau, mengapa aku mengutus orang untuk menyusulmu? Janganlah engkau mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa izinku. Itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah engkau kupanggil, dan sekarang berangkatlah untuk melaksanakan tugasmu.”

      Kedua, memilih aparat negara yang memiliki kapabilitas. Rasulullah Saw tidak mengangkat mereka yang lemah untuk pejabat.  Di dalam Kitab Mukhtasar Targhib wa Tarhib, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Dari Abu Dzar ra mengatakan: Aku Berkata, “Wahai Rasulullah mengapa engkau tidak mengangkatku jadi pejabat?. Dia mengatakan: Lalu Rasulullah Saw memukul pundakku dengan tangannya, lalu berkata: Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanat dan jabatan adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat, kecuali bagi yang mengambilnya dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya.” Di dalam hadits yang lain juga dijelaskan bahwa Rasulullah juga sangat membenci orang yang ambisius terhadap jabatan.

      Ketiga, teladan pemimpin. Khalifah Umar bin Khattab adalah penguasa kaum muslim yang berhasil menjunjung tinggi pola hidup sederhana. Muhammad Ash-Shalabi dalam kitab Syakhsiyatu Umar wa Aruhu, menuliskan sejumlah kisah yang menunjukkan gaya hidup Amirul Mukminin yang sangat sederhana, zuhud dan wara”. Suatu ketika, minyak wangi jenis misk dan anbar dari Bahrain didatangkan kepada Umar. Umar berkata pada istrinya, Atikah, ”Aku senang sekali bila menemukan seorang wanita yang pandai menimbang minyak wangi ini untukku, hingga aku membagi-bagikannya kepada kaum muslimin.” Atikah menjawab, “Aku pandai menimbangnya. Bawalah kemari minyak wangi itu agar kutimbang untukmu!”. “Tidak”, kata Umar. “Mengapa tidak?”, tanya istrinya. Umar menjawab,”Aku khawatir kamu mengambilnya, lalu kamu mengoleskannya di lehermu, sehingga kamu mengambil bagian dari milik kaum muslimin.”

      Keempat, pengawasan masyarakat. Dalam sejarah kepemimpinan pemerintahan Islam, demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat tercatat, Umar bin Khattab telah mengambil inisiatif dan sekaligus mendorong rakyatnya untuk melakukan kewajibannya mengontrol pemerintah. Khalifah Umar di awal kepemimpinannya berkata: “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskanlah aku walaupun dengan pedang” Lalu seorang laki-laki menyambut dengan lantang  “kalau begitu, demi Allah Swt, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu Umar bergembira, bukan menangkap atau menuduhnya menghina kepala negara.

      Sementara upaya menciptakan sistem yang tangguh dapat ditempuh dengan cara: Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Agar tenang bekerja dan tak mudah tergoda, kepada mereka harus diberikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang layak. Rasulullah saw bersabda: \"Siapapun yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tak memiliki pembantu hendaknya mengambil pelayan; jika tak memiliki kendaraan hendaknya diberi. Siapapun mengambil selainnya, ia telah berbuat curang atau pencuri\". (HR. Abu Dawud).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: